Ujung Rel Kereta

Perjalanan Dimulai.

Jogja. Kota yang menjadi tampat persinggahan sementara untuk beberapa orang. Entah untuk menenangkan diri atau untuk menemukan bagian yang hilang di hatinya. Jogja merupakan tempat untuk berdamainya sebuah hati yang sedang patah. Banyak dari manusia yang hidup di bumi nusantara ini ingin pergi ke sana. Termasuk Rani.

Rani adalah mahasiswa semester akhir yang sedang sibuk dengan skripsinya. Tersisa dua bulan lagi sebelum pendaftaran sidang di buka. Di tengah-tengah kesibukannya, Rani memutuskan untuk pergi ke Jogja setelah hubungan dengan pacarnya berakhir. Rani berangkat menggunakan kereta api dari Bandung sendirian. Dengan tas rangsel yang berisikan beberapa pakaian ganti, Rani tiba di stasiun jam 8 pagi. Satu jam lebih awal dari jam kedatangan kereta. Dia sengaja, karena ingin menikmati suasana peron stasiun kota Bandung terlebih dahulu.

Dengan novel yang Rani bawa di tangan kanannya. Dia duduk menunggu di kursi panjang dekat jalur rel kereta. Sesekali Rani mengamati keadaan sekitar saat dia merasa jenuh dengan rangkaian kalimat yang ada di dalam novelnya. Banyak orang yang berlalu lalang di sana. Mulai dari penumpang yang baru turun dari kereta hingga petugas kebersihan yang masuk ke dalam kereta membawa ember.

Penumpang yang kami hormati, dari jalur tiga kereta api tujuan Stasiun Yogyakarta dengan jadwal keberangkatan pukul 09.05 akan segera diberangkatkan. Atas nama PT Kereta Api Indonesia mengucapkan terima kasih, atas kepercayaan anda telah menggunakan jasa layanan kereta api. Selamat menikmati perjalanan anda dan sampai jumpa pada perjalanan berikutnya”.

Suara pemberitahuan dari pegawai kereta api yang disiarkan langsung terdengar oleh semua orang yang berada di stasiun. Termasuk Rani yang sedang membaca novelnya. Lekas, Rani bersiap. Memasukkan buku novelnya ke dalam tas rangsel lalu menggendongnya.

Di dalam kereta, Rani duduk di bangku penumpang sesuai dengan nomor kursinya. “Hmm.. Masih kosong..”, gumam Rani dalam hatinya saat berdiri di tengah lorong gerbong kereta. Setelah menaruh tas di kabin atas kursi penumpang, Rani duduk dan kemudian memasang earphone di telinganya. Dia juga mem-post-ting foto di Instagram dengan caption, “Perjalanan Dimulai”.

Lima menit sebelum kereta berangkat, seorang pria duduk di bangku kosong sebelah Rani. Dia memakai pakaian kemeja kotak-kotak di bagian luar dengan kaos hitam di dalam. Rani hanya melirik sesaat, dan tidak menghiraukannya.

Di tengah perjalanan, saat kereta sudah berjalan sekitar satu jam. Pria di sebelah Rani menepuk pundaknya, dia menawarkan sebatang cokelat. “Permisi, saya ada cokelat. Mungkin kakaknya mau? Dari tadi saya perhatikan, kakaknya hanya mendengarkan lagu melalui earphone dan memandang ke arah luar jendela kereta”.

Rani yang mendengar tawaran dari si pria itu mencoba untuk menolak dengan halus sambil berkata, “Ehmm, terimakasih mas. Saya masih kenyang kok”. Tak lupa, Rani juga memberikan senyum ramah.

“Oh, baik kalau begitu”. Balas pria itu kepada Rani sambil tersenyum juga.

Sejak kereta meninggalkan stasiun, Rani hanya diam dan memandang ke arah luar jendela dengan tatapan kosong, seperti sedang melamun. Ini memang bukan kali pertama untuk Rani pergi naik kereta. Dulu dia sering menghabiskan waktu akhir pekan bersama pacarnya untuk pergi ke Jakarta. Untuk bermain.

“Kakaknya mau ke Jogja juga?”, tanya pria di sampingnya.

Rani tak mendengar omongan dari pria tersebut karena kedua telinganya masih tertutup earphone. Sadar dengan hal itu, pria itu menepuk pundak Rani lalu kembali bertanya.

“Eh, iya mas.. maaf.. kenapa ya?”, kata Rani sambil melepas salah satu earphone-nya.

“Kakaknya mau ke Jogja juga?”

“Iya, saya ke mau Ke Jogja Juga”.

“Ternyata kita satu tujuan”. Balas pria itu.

Rani kembali memberi senyum balasan. Dia cuek tak melanjutkan pembicaraan.

“Kira-kira, kalau boleh tau kenapa mau ke Jogja?” tanya pria itu kembali.

Rani yang mulai tersulut amarah karena merasa terganggu, mulai menekan nada bicaranya dengan berkata, “Mas nya bisa diam tidak, ya?”

Kesal dengan pria itu, Rani berdiri dari kursinya lalu pergi ke gerbong lainnya. Gerbong tempat menjual makanan di dalam kereta. Di sana ada beberapa bangku kosong untuk pengunjung yang hendak menikmati sajian dari kereta. Rani, duduk di salah satu bangku itu. Dia kembali memasang earphone-nya dan memandang ke arah luar jendela kereta. Rani memulai kembali lamunannya.

 

Perayaan, Perpisahan.

Tiga bulan lalu..

Saat itu, Rani sedang berbahagia. Benar-benar bahagia. Dia baru saja menyelesaikan ujian sidang proposal untuk bahan skripsi-nya. Rani dinyatakan lulus oleh dosen yang menjadi pengujinya. Di halaman kampus, sudah ada beberapa temannya yang menunggu sambil membawa hadiah untuk Rani. Mereka hendak memberikan hadiah tersebut sebagai ucapan selamat.

Di tengah-tengah kebahagiaan Rani, ponselnya berbunyi. Sebuah panggilan yang dengan cepat Rani angkat. Nama Anggara di sana. Seseorang yang sudah dua tahun menjadi pacar Rani.

“Halo.. Ra..”, suara Anggara dari panggilan ponsel Rani.

“Halo, Ngga.. Kamu kemana? Aku lulus sidang proposal hari ini..”, ucap Rani yang masih berbahagia karena kelulusannya.

“Selamat ya.. maaf nggak bisa dateng..”, Suara Anggara terdengar datar di telinga Rani.

“Ngga.. Kamu kenapa?” tanya Rani untuk memastikan kondisi Anggara.

“...” Anggara tak menjawab pertanyaan Rani.

Rani yang tadinya bahagia, kini gelisah. Muncul rasa panik dalam hatinya.

“Ra.. kita selesai, ya..” kata Anggara, dengan suara yang masih datar.

Rani yang masih paham apa maksud dari ucapan Anggara itu kembali bertanya, “Selesai? Maksudnya selesai apa? Aku nggak paham..”

“Kita, selesai.. aku mau kita putus.. jadi temen aja..”

Rani hanya diam mendengar kata-kata itu. Dia terkejut, jantungnya berdegup kencang. Rani bertanya untuk memastikan kembali, “Ng.. Ngga.. kamu bercanda kan? Nggak serius kan?”

“Aku serius, Ra.. aku ingin kita selesai..”

Mata Rani mulai berkaca-kaca, dia bertanya, “Kenapa Ngga? Kenapa?”

Anggara tak memberi tau alasannya. Dia hanya diam, membuat obrolan mereka berdua terhenti seketika.

“Sekali lagi, maaf ya, Ra.. aku nggak bisa dateng.. makasih buat semua waktunya.. aku harap kita masih bisa ngobrol lagi, sebagai teman..”, kata Anggara sebelum dia memutus sambungannya.

Hari itu, dimana seharusnya adalah hari perayaan yang berkesan untuk Rani, justru berubah menjadi hari perpisahan. Suasana bahagia yang dirayakan oleh teman-teman Rani itu berubah menjadi kesedihan patah hati. Matanya yang sedari tadi berkaca-kaca menahan air matanya mulai jatuh membasahi pipi. Teman-teman yang melihat Rani menangis seketika memeluknya sambil bertanya “kenapa” kepada Rani.

 

Move On.

Secangkir kopi diberikan kepada Rani yang sedang duduk melamun.

“Nih kak, kopi susu.. kata pegawai KAI yang buat, ini kopi paling cocok untuk nemenin perjalanan di dalem kereta”, kata si pemberi kopi susu.

Mendengar suara yang tak asing itu, Rani menoleh. Ternyata si pemberi kopi susu itu adalah pria yang duduk di sebelah bangku Rani tadi. Karena kesal, merasa pria itu selalu mengganggu Rani, Rani-pun berkata, “Mas, kenapa dari tadi ganggu saya terus, sih?” dengan nada bicara yang sedikit ditekan.

“Maaf, tapi coba minum dulu kopi susunya. Siapa tau, kakaknya bisa sedikit lebih tenang”. Jawab pria itu sambil tersenyum ke arah Rani.

Masih merasa sebal karena tingkah laku si pria itu. Rani berdiri dengan niat untuk beranjak pergi. Namun baru saja Rani memalingkan wajahnya dan akan melangkahkan kakinya, pria itu sontak berkata, “Kalau lagi patah hati, setidaknya nikmatin dulu perjalanan di dalam kereta ini”.

Rani mengurungkan dirinya untuk pergi. Rani berpikir sejenak menelaah perkataan pria itu kembali. Dalam batinnya berkata, “Mungkin ada benarnya juga”.

Mengambil nafas panjang, Rani menatap wajah si pria.

“Maaf, mas. Saya tersinggung”. Kata Rani kepada pria itu.

“Oke, saya juga minta maaf”. Balas pria itu. Kemudian pergi meninggalkan Rani dan secangkir kopi susu yang masih berada di atas meja tempat duduk Rani.

Rani kembali ke kursi keretanya. Di sana sudah ada pria yang tadi membuat Rani tersinggung. Pria itu duduk sambil membaca sebuah komik jepang. Merasa tidak enak karena telah berkata kurang sopan kepada pria itu, Rani kembali meminta maaf.

“Mas, maaf untuk yang tadi, ya”.

Pria itu menutup buku komiknya lalu melirik ke arah Rani, menjawab, “Iya, tenang aja. Momen orang yang sedang patah hati tuh emang suka marah. Saya maafin kok”.

“Kok mas tau, saya sedang patah hati?” tanya Rani.

Sambil menjulurkan tangan, mengajak Rani untuk bersalaman pria itu berkata, “Perkenalkan, saya Zain”.

“Saya Rani, mas”. Balas Rani sambil menyalami kembali tangan Zain.

“Kakaknya mau ke Jogja, kan?” tanya Zain setelah memperkenalkan dirinya.

“Iya, saya mau ke jogja”.

“Hemm.. saya tau kalau kakak sedang patah hati karena kakaknya mau Ke Jogja”. Jawab Zain untuk pertanyaan Rani sebelumnya.

“Memangnya kenapa dengan Jogja?”

“Untuk sebagian orang, Jogja adalah tempat pelarian. Tempatnya orang-orang untuk menemukan ketenangan untuk dirinya sendiri. Jogja juga kadang menjadi tempat untuk lari dari patah hati”. Jelas Zain sambil tersenyum.

Rani hanya diam mendengarkan. Dia masih bingung dengan apa yang semalam dia mimpikan waktu tidur. Dia tidak menyangka di perjalanan menuju Jogja akan bertemu dengan pria random yang aneh.

“Biasanya, kalau orang sedang patah hati lalu pergi Ke Jogja menggunakan kereta api sendirian, mereka akan menikmati perjalanan mereka. Entah dengan baca buku, atau mengobrol dengan penumpang di sebelah mereka”, lanjut penjelasan Zain kepada Rani.

“Bukannya dengerin lagu sambil lihat pemandangan, juga termasuk cara menikmati perjalanan, ya?” balas Rani dengan sebuah pertanyaan.

“Itu benar, tapi tidak cocok untuk orang yang sedang patah hati. Orang yang sedang patah hati harus bisa move on dari masa lalunya. Berani membuka diri dengan sesuatu yang baru. Bukan meratapi keadaan yang membuat larut sama kesedihan. Kalau pergi Ke Jogja naik kereta cuman buat lihat pemandangan dan dengerin lagu sih, percuma. Yang ada malah nambahin beban pikiran. Nggak jadi move on pada akhirnya”.

Rani yang masih diam dan tak membalas perkataan dari Zain, mencoba menela’ah. Rani mengerti arah perkataan Zain itu kemana. Dan dalam hati Rani berkata kepada dirinya sendiri, “Kayaknya aku terlalu larut sama sakit hati ini. Emang bener, aku pergi Ke Jogja untuk sembuhin diri sendiri. Tapi gimana mau sembuh, kalau aku justru nggak nikmatin perjalanannya? Sama aja bo’ong”.

Akhirnya, Rani mulai mematikan ponselnya. Memasukkan earphone ke dalam rangselnya. Mengobrol dengan pria yang duduk di sebelahnya. Zain, mengajak Rani untuk move on  dari masa lalu dengan berbagi cerita di sepanjang perjalanan.

 

Sampai Jumpa di Perjalanan Berikutnya

Roda kereta yang berputar di atas rel besi masih terdengar dari dalam gerbong. Perjalanan menuju Jogja hampir selesai. Rani dan Zain masih saling berbagi cerita. Mereka berdua menikmati perjalanan bersama dua cangkir kopi susu yang hampir habis. Gerbong restorasi kereta menjadi tempat terakhir mereka untuk mengobrol.

“Zain, sebenernya kamu Ke Jogja mau ngapain sih?” tanya Rani.

“Hemm.. aku belum cerita, ya!” Jawab Zain.

“Belum, dari tadi cuman aku yang cerita. Sekarang gantian kamu yang cerita”.

Zain tertawa, kemudian berkata, “Kayaknya aku emang cocok jadi wartawan, kalau gitu, hehehe”.

Dalam waktu singkat, Rani dan Zain menjadi akrab. Mereka sama-sama sepakat untuk memanggil nama masing-masing. Dan kata “aku, kamu” menjadi perantaranya.

“Jogja.. Aku pergi ke Jogja karena ingin pergi ke sana”. Ucap Zain.

“Jadi nggak ada alasan khusus, nih?” tanya Rani kembali memastikan.

“Sebenernya sih ada”.

“Emangnya apa?”

“Ya.. karena.. perjalanan menggunakan kereta menuju Jogja selalu punya cerita. Aku selalu senang saat-saat di kereta. Banyak hal yang kita bisa dapet. Seperti ketenangan waktu lihat pemandangan dari balik jendela gerbong. Atau menghabiskan waktu sambil ngobrol sama orang baru”.

“Berarti, kamu sering dong ngajak ngobrol penumpang cewek waktu di kereta?”

“Sering.. makanya aku bisa tau, kalau kamu lagi sakit hati”.

“Wah, aku ketemu sama buaya di gerbong kereta nih”, canda Rani.

“Hahaha”, Zain tertawa.

“Udah punya pacar?” tanya Rani sambil menggoda Zain dengan lirikan mata dan alis yang dikedutkan.

“Emangnya siapa yang sanggup jadi pacarku, kalau kebiasaanku kayak gini?”

“Hahaha, bener juga, ya”.

“Lagian, punya pacar bukan jalan ninjaku”.

“Widih, masih kebawa aura dari komik yang tadi dibaca nih”.

“HEHEHEHE”, Rani dan Zain tertawa sama-sama.

Tinuninu..Tinuninu..” Suara bel pemberitahuan kereta api berbunyi.

Announcer kereta api memberikan pemberitahuan bahwa ketera akan segera memasuki Stasiun Kota Yogjakarta. Tujuan akhir dari perjalanan kereta Rani dan Zain hampir selesai. Kereta yang dinaiki oleh Rani dan Zain akan tiba di ujung relnya. Mereka berdua bergegas kembali ke tempat duduknya untuk bersiap-siap. Mengemasi barang bawaan mereka masing-masing.

Roda kereta api telah berhenti berputar. Rani dan Zain berpisah di depan stasiun kota. Mereka berdiri berhadapan sambil berbagi senyum.

“Makasih ya, Zain. Perjalanan ini seru. Seneng bisa ngobrol banyak hal sama kamu, di kereta tadi”.

“Sama-sama, Ra. Seneng bisa ngasih kesan akhir yang bisa bikin bahagia”.

“Nanti, kalau kita ketemu lagi. Kita ngobrol lebih lama lagi ya”.

“Boleh”, singkat Zain sambil menganggukkan kepalanya.

“Eh, kamu sampai kapan di Jogja?” tanya Rani.

“Nggak tau, belum pesen tiket pulang juga”.

“Kalau gitu. Gimana kalau kita ketemu lagi di sini dua hari lagi. Jam delapan pagi, gimana?” Rani memberi ajakan kepada Zain untuk kembali bertemu.

“Yakin nih? Kita udah sama-sama ngucapin kata perpisahan loh, barusan”.

Rani tertawa kecil. Lalu melanjutkan perkataannya, “Masih ada gunanya kok, kan kita memang akan pisah untuk dua hari kedepan. Itupun kalau kamu mau. Kalau kamu nggak mau, juga nggak apa-apa”.

Zain mengambil nafas panjang, membusungkan dadanya, kemudian menjawab, “Jam tujuh pagi. Jangan sampai telat”.

Rani kembali tertawa. Dia merasa senang karena Zain menerima ajakannya. Muka merah dan senyum sambil menggigit bibir menjadi sebuah tanda untuk Zain dari Rani. Mereka berdua sepakat untuk bertemu dua hari lagi. Memupuk cerita masing-masing di Kota Jogja, sebagai bahan obrolan di pertemuan selanjutnya.

“Sampai jumpa di perbincangan berikutnya, Ra”, ucap Zain kepada Rani.

Rani membalasnya dengan senyum sambil berkata, “Iya.. sampai jumpa di perjalanan berikutnya”.

 

** SELESAI ** 

Komentar

Postingan Populer