BANA & JINGGA
Bana selalu percaya, ada satu orang yang bisa menjadi rumah. Ia menemukannya pada diri Jingga, seorang perempuan dengan rambut sebahu, mata teduh yang seolah bisa meredam badai di dalam kepalanya. Jingga senang memakai kemeja longgar berwarna pastel, celana jeans sederhana, dan sepatu kets putih yang jarang benar-benar putih. Ia bukan tipe yang banyak bicara, tapi selalu tahu cara membuat hening terasa hangat.
Namun, sore itu di sebuah kafe berlampu redup, rumah itu runtuh.
“Bana, aku capek,” ucap Jingga, jemarinya meremas gelas kopi dingin yang sudah mencair. “Kita bukan lagi kita yang dulu. Kau terlalu sering menunda, terlalu sering bilang nanti, sementara aku sudah kehabisan nanti.”
Bana duduk dengan kemeja abu-abu yang kerahnya kusut, tangan mengepal di bawah meja. “Aku kira kita bisa perbaiki,” suaranya pecah setengah berbisik.
Jingga menunduk, lalu berdiri tanpa menoleh. Dan yang tertinggal hanyalah kursi kosong di depannya.
Hari-hari setelahnya, Bana hanyalah bayangan dari dirinya sendiri. Ia bekerja seadanya, pulang dengan mata kosong, dan sering berhenti di jembatan layang hanya untuk menatap lampu-lampu kota yang berpendar samar. Kemejanya jarang rapi, rambutnya berantakan, langkahnya berat. Di kos kecil berukuran tiga kali empat, ia duduk bersandar di dinding, menatap foto lama mereka berdua di layar ponsel.
“Hanya benda mati, tapi kenapa tetap menyakitkan,” gumamnya pada layar itu.
Sampai suatu sore, hujan turun deras, dan Bana berdiri di halte, mencoba menyembunyikan wajah lelah di balik hoodie hitamnya. Seorang perempuan asing berdiri di sampingnya, membawa payung lipat biru yang sudah basah kuyup. Ia mengenakan blus putih dengan rok cokelat selutut, rambutnya digelung seadanya. Senyum tipis melintas saat tatapan mereka bertemu.
“Lupa bawa jas hujan?” tanya perempuan itu sambil terkekeh.
Bana mengangguk, lalu membalas dengan senyum tipis. “Atau memang sengaja lupa. Kadang biar ada alasan untuk berhenti sebentar.”
Perempuan itu tertawa kecil. “Kalau begitu, berhenti sama-sama. Aku Ayara.”
Nama itu seperti embun di pagi berkabut.
Mereka mulai sering bertemu. Di perpustakaan kota, Ayara dengan cardigan abu-abu tipisnya, membaca novel usang, dan Bana dengan buku catatan kosong yang diisinya dengan coretan patah hati.
“Kenapa kosong?” tanya Ayara, melirik bukunya.
“Karena menulis tentang yang hilang itu seperti mengulang luka. Kadang aku hanya ingin menatap kertas putih,” jawab Bana.
Ayara tersenyum samar. “Kalau begitu, biar aku isi sedikit. Kau tahu, hidup ini kadang tak memberi kita jawaban, hanya alasan untuk terus berjalan.”
Di pasar malam, keduanya berjalan beriringan. Ayara tertawa saat melihat Bana membeli balon berbentuk bintang.
“Untuk siapa? Jangan bilang untukku,” godanya.
Bana tersenyum lemah. “Kalau bukan untukmu, untuk siapa lagi? Lagipula, tak ada salahnya memberi bintang pada seseorang yang membuat malam tak lagi gelap.”
Ayara terdiam, wajahnya memerah.
Namun Jingga masih ada. Setiap kali tawa Ayara pecah, di hati Bana, ada gema nama yang lain. Saat Ayara bercerita tentang mimpi-mimpinya, di benak Bana, masih ada janji-janji yang dulu terucap dari bibir Jingga. Luka lama tidak lenyap, hanya perlahan tergantikan oleh lapisan-lapisan rasa baru yang tak sepenuhnya menutup.
Suatu malam, di tepi laut, mereka duduk berdua di atas pasir dingin. Angin membawa aroma asin, ombak memecah sunyi.
“Apa kau pernah benar-benar sembuh dari sesuatu?” tanya Ayara lirih.
Bana menatap laut, tangannya menggenggam pasir yang jatuh dari sela jari. “Mungkin tidak. Mungkin kita hanya belajar hidup dengan pecahan yang ada. Menyusun ulang, meski tahu bentuknya takkan sama.”
Ayara menghela napas panjang, lalu bersandar di bahunya. “Kalau begitu, biarkan aku ada di antara pecahan itu.”
Bana menutup mata, membiarkan kehangatan itu mengisi ruang yang lama kosong. Tapi jauh di dalam dirinya, masih ada bayangan Jingga, berdiri di kafe dengan tatapan yang tak pernah ia mengerti.
Malam itu berakhir tanpa jawaban. Laut tetap bergemuruh, angin tetap berhembus, dan hati Bana tetap terbelah antara yang telah pergi dan yang berusaha tinggal.
Komentar