“DEJA VU” (Part II) -Kereta dan Pertemuan yang tiba-tiba-
Kali ini semuanya terasa hampa tanpa suara. Aku menjauh dari Eca. Kami berdua sudah satu tahun tidak berbagi cerita. Tanda tanya yang dahulu selalu aku tanyakan kepadanya, kini tersimpan dalam bilik-bilik saraf otak dengan rapi. Menggema setiap hari, meminta untuk dibuka. Cerita tentangku dan Eca tidak berlanjut seperti di film-film romansa lainnya. Hanya tertutup rapat dengan pintu yang terkunci tapi sering berteriak, sesekali mendobrak ingin keluar.
Banyak hal yang sebenarnya aku rindukan dari Eca. Selain suaranya yang selalu cerewet saat kami berdua bercanda atau membahas topik obrolan tidak tentu, aku juga merindukan wajahnya yang manis saat tersenyum dan lucu saat cemberut. Kira-kira kalau aku kali ini menyapanya dahulu, bagaimana? Seperti, “Ca, apa kabar?” atau “Ca, kamu sekarang gimana?” atau mungkin tidak aku bertanya, “Ca, kamu kangen aku juga nggak?” kalau dipikir kembali, itu sangat random bagi kami berdua yang sudah lepas kontak sekian lama. Lagipula, ceritaku di kota ini hampir selesai. Aku akan pergi ke kota yang jauh untuk melanjutkan mimpiku yang sempat tertunda. Menerbitkan tulisanku. Judul dan ceritanya bukan soal “NARA” tapi tentang Eca dan aku. Hanya saja masalah dalam penulisan ini adalah aku belum menemukan judul yang cocok. Yang masuk di ceritanya. Biasanya, kalau aku di tanya oleh Eca, aku pasti bisa menyimpulkan judul cerita lebih cepat.
SENIN, HARI MASUK KERJA, PUKUL SEMBILAN LEWAT DUA. Tas rangsel berisikan pakaian secukupnya, laptop dan beberapa ATK, serta air mineral di sisi sampinya telah siap. Aku tiba di peron kereta lebih cepat sebelum jam kedatangan. Duduk di kursi besi, menunggu. Tidak lama dari itu, kereta melaju pelan menuju arah pemberhentian. Di sana, aku lekas masuk dan duduk sesuai nomor kursi di tiket.
“Penumpang Yang Kami Hormati // tujuan Pasar Senin, Jakarta / akan segera diberangkatkan // Atas nama PT Kereta Api Indonesia / mengucapkan terima kasih / atas kepercayaan Anda telah menggunakan jasa layanan kereta api / Selamat menikmati perjalanan Anda / dan sampai jumpa pada perjalanan berikutnya //”
Suara pengumuman keberangkatan telah di kumandangkan. Seorang wanita menggunakan hujab dan kacamata hitam duduk di sampingku. Sempat aku tidak mengenalnya, tapi suaranya yang menyapaku terlebih dahulu terdengar tidak asing. Ternyata dia adalah temanku, Fara. Teman satu sekolah saat masih duduk di bangku kejuruan. Lebih tepatnya, kami satu kelas. Dulu, memang aku tidak banyak berbicara dengan dia. Aku hanya sekedar menyapanya di waktu yang tidak tentu. Jarang sekali. Mungkin karena dia cantik dan pintar, banyak laki-laki yang suka dengan dia juga. Sempat menjalin kisah asmara bersama teman satu kelasku juga. Namun, sepertinya waktu berlalu terlalu cepat tanpa aku sadari. Dan mempertemukan kami berdua secara tidak sengaja.
“Gala, kamu Galandra bukan?” ucapnya setelah menaruh barang bawaannya lalu duduk di sebelahku.
Aku menoleh dengan sedikit terkejut dan rasa bingung, kemudian menjawab, “Iya, saya Galandra.”
“Ini aku, Fara. Farasha. Kita dulu temen satu kelas. Inget nggak?”
“Fara?” aku berpikir sejenak, “Oh iya, aku inget. Kamu Fara yang cantik itu kan?”
“Emang sekarang udah nggak cantik lagi?”
“I..ii..ya.. cantik sih, cuma mungkin udah tua aja. Hehehe..”
“Gila sih ini.. Hehehe.. kita ketemu di sini lagi. Nggak sengaja banget..”
“Hehehe..”
Topik obrolan kami berlangsung menyenangkan, Fara masih tetap cantik seperti dulu. Meski usianya bertambah, tapi wajahnya tidak berubah, hanya pakaian yang dia gunakan sekarang lebih tertutup. Berbeda dengan masa sekolah dulu, rambut panjangnya terurai dengan lurus indah sudah dia tutup dengan kain hijab.
Fara bertanya kepadaku, “kamu, apa kabar?”
“Baik kok,” jawabku singkat.
“Oh iya, kamu masih sering bikin film pendek sekarang?”
Ah iya, benar. Film pendek yang dulu sering aku buat waktu jaman sekolah, sudah tidak lagi pernah aku sentuh kembali. Tidak ada teman untuk itu, semua sudah sibuk dengan urusan pribadinya masing-masing. Termasuk dengan diriku yang bingung dengan diri sendiri.
Aku menjawab dengan pandangan ragu menatap lantai gerbong kereta, “sudah lama nggak bikin.”
“Loh, kenapa? Padahal dulu, kalian paing suka habisin waktu bareng buat bikin film-film pendek. Aku tau dan aku suka loh hasilnya,” balas Fara.
“Memang apa bagusnya? Itu cuma film yang bikin secara tiba-tiba karena lagi males ngerjain tugas aja.”
“Aku sih suka bukan karena filmnya bagus atau buruk. Tapi mungkin lebih ke kagum aja sih. Karena kalian bisa manfaatin waktu dengan hal positif, padahal dulu itu tugas sekolah selalu numpuk setiap harinya.”
Jujur, dalam hatiku sangat merindukan hal itu. “Benar sih, tapi setiap hal punya masanya masing-masing. Dan mungkin masa itu udah selesai.”
Fara melanjutkan, “memang, yaaa.. aku nggak nolak hal semacam itu sih. Aku juga berubah kok. Aku yang dulu nggak pakai hijab, jadi pakai hijab sekarang.”
“Iya,” kataku.
Tujuanku dan Fara ternyata sama. Kami berdua turun dari kereta setelah empat jam perjalanan. Di ujung perpisahan, di depan stasiun Fara berkata, “nah, kamu memang benar Gala. Setiap hal itu ada masanya. Dan kali ini, masa kita untuk berpisah sudah di depan mata. Tapi meski begitu, kita tetap jadi teman kan?”
“Iya, mau apa lagi? Teman akan selalu menjadi teman,” kataku membalas sambil tersenyum.
“Kalau gitu, suatu saat nanti kalau kita ketemu lagi tanpa sengaja. Itu berarti dunia sedang menyusun sebuah rencana lain untuk kita. Dan makasih ya, buat obrolan singkat di kereta tadi. Aku seneng, karena ada temennya. Nggak sendirian.” Fara tersenyum kepadaku, di depanku dia mengajakku berjabat tangan sebagai tanda perpisahan kami berdua.
Di waktu berikutnya, tujuanku adalah pergi ke kantor swasta yang akan menjadi rekan bisnis kantorku. Dengan naik kendaraan kota, aku berangkat. Suasananya tidak sama dengan kota sebelumnya. Dalam hati, aku berkata, “Ca, kira-kira kamu bakal suka nggak ya, kalau aku ajak ke sini?”
Aku masih belum bisa melupakan Eca setelah satu tahun berlalu. Senyumnya masih suka mampir ke dalam mimpi saat aku tertidur. Dan rasanya aneh saat aku membuka kolom pesan orang lain saat mengobrol. Mungkin karena sudah terbiasa untuk sedikit-sedikit mengobrol dengan Eca. Meski serang sudah tidak lagi.
Komentar