“DEJA VU” (Part III)

Di pertemuan terakhirku dengan Eca, aku ingat kalau bukan gerbong kereta yang menjadi tempat awal kami berdua. Tapi itu adalah pertemuanku dengan wanita yang berbeda. Dengan Fara. Teman satu kelasku semasa sekolah. Muka mereka begitu mirip, tak jauh beda. Hanya kulit fara lebih putih dari Eca. Sepertinya aku menagalami pengulangan kejadian yang tidak aku sadari. Sepertinya, Deja vu.

Meski kini aku sudah tidak lagi dengan Eca. Aku merasa lebih terbiasa sendiri. Menyelesaikan pekerjaan lalu tidur tidak terlalu malam. Ini bukan karena Eca sering aku ajak ngobrol waktu tengah malam, tapi karena aku memang menginginkannya. Hidup lebih sehat dari sebelumnya dan menikmati sendiri. Bukan berarti aku tidak rindu dengan obrolaku bersama Eca. Bagiku, Eca itu seru kalau diajak untuk membahas banyak hal. Tapi aku aku tidak mau mengganggu kesibukannya. Kami berdua sudah di level yang berbeda. Eca dengan jabatan dan tanggung jawab lebih besar, serta aku yang harus bisa lebih mandiri. Lebih harus bisa menyelesaikan urusanku sendiri tanpa bantuan orang lain. Bukan merasa bisa semuanya, tapi aku belajar segalanya.

Usiaku kini sudah dua puluh lima. Ulang tahunku yang terakhir, tidak aku rayakan bersama Eca. Hanya bersama sebuah korek api yang aku nyalakan dan aku tiup setelah berdoa. Aku berdoa untukku dan untuk Eca juga. Semoga kami berdua diberikan waktu yang sama untuk kembali berjumpa di kesempatan yang lainnya.

Kali ini kotaku dan Eca telah berbeda. Aku tengah berkunjung ke kantor pusat pelayanan kota. Mengurus berkas kantor yang telah mereka amanatkan kepadaku. Tentang beberapa hal. Kegiatannya berlangsung dari jam sembilan pagi hingga tengah hari, sebelum makan siang. Tempatnya ramai, tapi tertib. Petugas di sana mengarahkan masyarakat yang datang dengan ramah. Termasuk aku juga. Setelah urusanku selesai, aku mengirim informasi ke kantor pusatku. Menunjukkan bukti bahwa perintah telah selesai dilaksanakan.

Waktu luang masih tersisa banyak. Aku tidak menyangka akan seluang ini. Tiket kereta untuk pulang masih dua hari lagi. Sejenak aku beranggapan, “apakah aku diberi jatah untuk berlibur dulu, oleh kantor?” aku sempat menanyakan tentang hal itu ke salah satu atasan. Ternyata memang benar, mereka menyuruhku untuk sedikit bersantai di kota ini. Menikmati keindahannya sembari berwisata kuliner yang ada.

Singkat cerita, sore telah tiba. Aku kembali ke penginapan untuk membersihkan diri. Berniat setelah jam tujuh nanti untuk pergi berkeliling kota menggunakan kendaraan seadanya, atau mungkin hanya jalan kaki saja. Tak apa, aku lebih suka jalan kaki daripada naik angkutan umum. Lebih sehat saja menurutku.

Di lobby penginapan, saat hendak pergi ke teras depan, seseorang memanggil namaku, “Gala!”

Aku menoleh, ternyata itu Fara. Dia menghampiriku, lalu aku berkata, “ini beneran, kita ketemu lagi?”

“Kayaknya sih gitu, hehehe,” jawab Fara.

“Aku masih nggak percaya sih,” balasku dengan sedikit memicingkan mata seolah curiga.

“Kamu mau ke mana?” tanya Fara.

“Mau jalan-jalan aja sih. Kalau kamu?” tanyaku kembali kepada Fara.

“Hmm..” Fara diam berpikir sejenak lalu bertanya, “kamu laper nggak?”

“Enggak juga sih, tapi aku terakhir makan waktu siang tadi.”

“Nah cocok, temenin aku makan sate yuk.”

“Tapi aku nggak punya kendaraan. Tempatnya jauh nggak?”

“Tapi kamu bisa nyetir mobil kan?”

“Bisa.”

“Kalau gitu, kamu jadi supirnya,” Fara tersenyum kemudian mengeluarkan kunci mobil dari dalam tasnya.

“Pakai mobil kamu?”

Fara tak menjawab, dia hanya tersenyum sambil menggukkan kepalanya.

Kami berdua akhirnya pergi bersama. Mengendari mobil Fara mengitari kota. Aku seperti tidak asing dengan momentum ini. Aku ingat, satu tahun lalu juga pernah seperti ini. Hanya saja waktu itu, Eca yang duduk di sebelahku bukan Fara. Di tengah perjalanan, Fara bercerita banyak hal. Dia cukup ramah dan menyenangkan saat mengajakku berbicara. Dia bilang, “Gala, sebenernya kamu ngapain aja di kota ini? Aku sendiri masih belum tau, tujuan kamu ke sini. Kalau aku sih memang pulang kampung, aku punya rumah di sini. Cuma jarang ditempatin aja. Sebenernya ada yang ngerawat dan jaga, tapi aku nggak begitu akrab karena mereka lebih tua.”

“Aku baru tau, kamu punya rumah di sini, Fara. Rumah sendiri atau punya orang tua?” tanyaku.

“Sekarang sih punya aku sendiri. Memang sih, orang tua aku yang beli. Tapi semenjak mereka berdua nggak ada, jadi harus aku yang ngerawat rumahnya.”

“Nggak ada tuh ke mana?”

“Dua tahun lalu, orang tua ku meninggal karena kecelakaan. Mobil yang mereka kendarain ditabrak truk dari arah berlawanan. Bukan salah supir truknya, ini murni karena penerangan jalan yang kurang terang. Kejadiannya malam hari. Ayah dan ibu ku sedang dalam perjalanan menuju rumah. Waktu itu sekitar jam satu malam. Aku yang sedang tidur di rumah mendapat kabar dari pihak rumah sakit kalau mereka berdua nggak terselamatkan.”

“Oh, maaf Fara. Aku nggak tau. Turut berduka cita, ya..”

“Nggak apa-apa Gala. Memang takdir itu nggak ada yang tau. Aku juga nggak masalah kok. Makasih, ya.”

Aku tidak tau cerita itu. Dari kabar grup sekolah juga tidak ada yang membicarakannya. Aku tidak tau apa yang membuat Fara berubah sejak kami berdua lulus dari sekolah. Yang jelas sekarang dia lebih tertutup pakaiannya.

Tak lama kemudian, kami berdua sampai di warung sate pusat kota. Bersebelahan dengan masjid agung, di sebrang alun-alun. Selain warung sate, ada beberapa lapak pedagang kaki lima yang juga ikut meramaikan. Penjual minuman keliling, dan beberapa pengunjung lainnya. Fara memesan seporsi sate ayam dan segelas es teh manis. Aku bilang kepada Fara, “samakan saja pesanannya.”

Setelah kenyang menikmati hidangan sate tengah kota. Kami tidak langsung beranjak dari area itu. Fara mengajakku berkeliling alun-alun dengan beberapa camilan untuk dimakan. Satu bungkus cilok bakar, martabak manis, dan tahu bulat. Minumannya dua botol air mineral. Kami berdua duduk di salah satu bangku beton, sesekali melihat suasananya yang ramai. Camilan yang kami beli, telah habis setengahnya.

“Enak juga suasananya,” kataku.

“Kamu pertama kali ke kota ini, ya?” Fara bertanya.

“Kayaknya sih iya. Aku lupa.. tapi aku ngerasa kayak pernah ke sini. Tapi aku nggak tau, kapan. Aku cuma ngerasa kalau ini bukan sebuah kebetulan, sih..”

“Ah, itu Deja vu namanya. Kejadian di mana seseorang merasa telah mengalami situasi atau peristiwa yang sama sebelumnya. Aku juga pernah ngerasain kayak gitu kok.”

“Aku tau itu, tapi kapan kamu ngerasain deja vu?”

“Kalau nggak salah nih, waktu kita ketemu di kereta waktu itu.”

“Mana mungkin?”

“Iya.. beneran.. makanya itu, aku manggil nama kamu. Dan ternyata beneran kamu. Hehehe..”

Ini beneran kan? Aku nggak berhalusinasi? Fara juga ngerasain apa yang aku rasain? Ini kebetulan atau gimana sih? Aku bingung sendiri, sekarang. Tapi aku yakin, kejadian ini pasti punya maksud tersendiri. Entah apa itu, yang jelas aku masih belum tau untuk sekarang.

Sebelum pulang, Fara bertanya sampai kapan aku akan berada di kota ini. Aku menjawab bahwa masih tersisa dua hari lagi. Dan lucunya adalah Fara kembali menawarkan diri untuk menemaniku menikmati sisa hari di kota ini. Terserah untuk jam dan tempatnya. Fara hanya bilang kalau jam delapan sampai jam sepuluh pagi, dia sudah ada jadwal dengan pekerjaannya.

Komentar

Postingan Populer