ECA
Hal yang paling aku benci adalah kesepian. Perasaan diri sendiri namun mencekam. Rasanya menakutkan dan sulit untuk dijelaskan. Namun aku bersyukur, di usiaku yang sekarang menginjak di angka dua puluh empat, aku masih memiliki seorang teman untuk bercerita. Aku sering memanggilnya Eca. Dia pendengar setia untuk segala keluh kesahku.
Jam sepuluh malam. Setelah mandi dan membersihkan diri, aku melihat lagi layar ponselku. Tidak ada notifikasi obrolan yang menyapa. Whatapps ku sepi. Sesekali ada pesan grup yang masuk. Selebihnya tidak ada. Terlintas di fikiran nama Eca. Kemudian aku mengirimkannya sebuah pesan.
22.10 : “Ca, kamu udah tidur?”
22.13 : “Belum. Kamu belum ngantuk emang?”
22.13 : “Belum juga. Kamu lagi ngapain?”
22.15 : “Nggak ngapa-ngapain sih, habis selesai lihat Youtube. Kenapa emangnya?”
22.15 : “Gapapa, Ca. Cuma tanya aja”.
22.20 : “Kamu lagi gabut, ya? Nggak ada temen ngobrol, hahaha”.
22.21 : “Dih, sok tau”.
Aku diam kemudian bertanya kepada diriku sendiri, “Ngapain juga aku ngontak si Eca malem-malem gini?”. Berfikir sejenak, bingung antara mau meneruskan obrolan atau menyudahinya. Tak lama kemudian, Eca membalas.
22.25 : “Terus kenapa?”
22.27 : “Aku lagi kepikiran”.
22.30 : “Kamu tuh, cowok yang lebih cewek daripada aku, ya? Sering banget overthinking”.
Eca. Selain teman untuk saling berbagi obrolan. Dia juga paham dengan sifatku. Dia lebih mengerti diriku daripada diriku sendiri. Hal aneh yang aku sendiri masih belum tau kenapa. Tapi aku lanjutkan saja obrolannya.
22.33 : “Enggak. Ini tuh namanya kritis”.
22.34 : “Setau aku nih ya, kritis dalam berpikir itu selalu punya dampak deh”.
22.34 : “Iya, memang. Kamu nggak sadar?”
22.36 : “Enggak tuh. Emangnya ada dampak lain dari kritis kamu, selain kamu ngajak aku buat ngobrol. Hahaha. Yang ada, aku malah kasih kamu saran dari pikiran kamu”.
Dia benar, aku masih selalu terjebak di dalam dunia fikiranku sendiri. Dan aku bersyukur, Eca bisa menjadi tempat untukku menemukan titik terang dari semua kerumitan yang ada di dalam kepalaku.
22.40 : “Kamu pernah risih karena sesuatu nggak, Ca?”
22.42 : “Ini, yang kamu bilang kritis? Nggak manly banget”.
22.42 : “Kok jadi Nggak manly?”
22.44 : “Emang gitu kenyataannya. Tapi gapapa. Karena Eca yang baik akan selalu menjadi teman ngobrol buat Gala yang belum bisa damai dari masa lalunya”.
Seperti yang Eca bilang. Aku masih belum selesai dengan seseorang dimasa lalu. Kenapa Eca tau, karena aku cerita sama dia. Semuanya. Bahkan hal paling rahasia bagiku, aku ceritakan kepadanya. Semoga saja tetap aman.
22.45 : “Eh, jangan bawa-bawa masa lalu, ya!”
22.49 : “Dih, kenapa emang? Kamu masih berharap sama dia?”
22.50 : “Udah enggak sih.. Yaelah, Ca, Aku serius nih. Jangan dibahas lagi deh. Toh sekarang dia juga udah bahagia sama yang dia pilih”.
22.50 : “Enggak, aku masih nggak mau berhenti buat itu”.
Bagian yang paling Eca suka saat dia mengobrol tentangku adalah membahas cerita masalaluku. Terutama cerita tentang wanita yang dulu sempat dekat dengan aku namun dia memilih pergi bersama orang baru. Lebih tepatnya mereka jadian. Kemudian berpacaran.
22.52 : “Can we stop this topic and start to talk about anything else? Masih banyak yang bisa kita bahas tau, Ca”.
22.54 : “Dih ngambek. Hehehe… Iya deh, bahas yang lainnya. Mau bahas apa?”
22.55 : “Aku kepikiran aja. Atau lebih ke risih juga sih”.
22.56 : “Soal apa?”
22.57 : “Gimana perasaan kamu kalau kamu suka sama orang baru, tapi belum selesai sama orang lama?”
22.59 : “Tuh kan. Tadi katanya nggak mau bahas masa lalu. Tapi kamu sekarang nanyain. Aneh kamu!”
Hal pertama yang Eca sebalkan saat mengobrol denganku adalah ketika aku mulai terbawa arus oleh pikiranku sendiri. Dia sangat membencinya. Entahlah, aku juga tidak tau alasannya apa. Yang aku tau, dia tidak langsung memutus pembicaraan. Melainkan mengomeliku selaknya seorang ibu kepada anaknya.
23.00 : “Begini saja. Bagaimana kalau negeri impian. Kamu masih mau buat terbang ke Finlandia dan mulai hidup di sana?”
23.01 : “Ini serius, tiba-tiba topiknya berubah. Kamu kenapa sih? Nggak jelas banget!”
23.02 : “Ya, maap. Habisnya nggak tau juga harus bahas apa”.
23.03 : “Sekarang lebih mood swing daripada aku”.
23.05 : “Salah lagi nih?”
Hal kedua. Eca juga sebal saat aku mulai menjadi orang yang terlalu jujur akan situasi. Namun Eca, juga tidak pernah kehabisan jawaban untuk membalas obrolan yang aku berikan. Dia bisa membuat suasana perbincangan jauh lebih menarik untuk dilanjutkan.
23.06 : “Enggak, nggak salah kok. Tapi bingung aja. Kamu emang belum bisa paham sepenuhnya sama diri kamu, ya?”
23.09 : “Emang manusia bisa paham sepenuhnya ke dirinya sendiri?”
23.10 : “Harusnya sih bisa”.
23.10 : “Coba, sekarang diskripsiin diri kamu?”
23.11 : “Kok jadi kayak interview kerjaan?”
23.12 : “Cuma mau tau aja. Gimana kamu bakalan diskripsiin diri kamu sendiri; kata kamu tadi, manusia bisa paham sama dirinya sendiri”.
23.14 : “Kamu tuh sekolah dapetnya apaan sih? Kenapa gini banget. Ah elah”.
23.15 : “Kok jadi aku yang salah lagi. Emang, ya. Cowok nggak pernah bener dihadapan cewek”.
23.17 : “Kamu nggak salah, cuma nggak pinter jadi manusia”.
Kalau Eca sudah mulai terpancing dengan emosinya karena obrolan kami berdua mulai aneh. Ini adalah saatnya untuk aku yang mengangkat kembali topik pembicaraan. Sederhana. Hal nomor satu yang harus dilakukan adalah mengangkat diriku sendiri dengan sebuah pujian. Atau bisa disebut, “OverPD” (Over Percaya Diri).
23.19 : “Yaelah. Aku nggak sebodoh itu juga tau. Gini-gini, masih punya mimpi buat jadi penulis terkenal. Awas aja, nanti kalau buku aku udah banyak dan terkenal. Jangan harap kamu dapet tanda tangan aku”.
23.20 : “Nggak. Aku nggak akan minta. Kecuali kamu sendiri yang datengin aku buat hal itu”.
23.20 : “Hal itu apa? Ngasih kamu buku yang ada tanda tangan aku di dalamnya? Dih, nggak bakalan mungkin”.
23.22 : “Ya, siapa tau. Kita nggak pernah tau soal masa depan, kan. Hahaha”.
Sejujurnya, Eca selalu tertarik saat aku membahas tentang mimpiku yang ingin menjadi seorang penulis. Sejak dulu, Eca selalu menjadi pembaca setia. Di setiap cerita yang aku buat, katanya, “sebenernya tulisan kamu itu bagus. Kenapa nggak diterbitin sekalian, jadi buku?” tapi sayangnya aku terlalu sering overthinking sama hal buruk yang akan terjadi. Dan di sanalah Eca, memberiku dukungan serta membantu memberi masukan.
23.23 : “Yaudah kalau gitu. Si calon penulis terkenal ini, akan mulai menulis karya untuk buku nya sendiri”.
23.23 : “Jangan lupa berdo’a”.
23.24 : “Dan tentunya tidak akan lupa untuk selalu berdo’a”.
23.24 : “Hahaha”.
23.24 : “Kok ketawa? Kamu ngeremehin aku ya?”
23.25 : “Enggak. Cuma kamu lucu aja. But, I appreciate it”.
23.26 : “Emangnya, mimpi kamu sendiri apa?”
Sayangnya, Eca masih belum bisa bicara soal mimpinya. Dia selalu mengelak dengan cara memberikan jawaban sederhana. Hal-hal kecil, namun bisa membuka pikiranku.
23.27 : “Mungkin hidup damai dan tinggal di rumah minimalis yang nyaman”.
23.28 : “Gitu aja?”
23.28 : “Emang masalah? Come on, Gala. Mimpi buat bisa bertahan hidup nggak harus besar-besar. Kadang cukup sama hal-hal kecil aja”.
23.30 : “Iya emang betul. Tapi masa gitu doang? Nggak seru kamu”.
23.31 : “Dih, nggak seru tapi ngajak ngobrol terus”.
Berikutnya, Ini adalah alasan kenapa aku suka ngobrol sama Eca.
23.32 : “Ya karena kamu asik aja. Suka ngelawan. Selalu debatin semua hal yang aku tanyain. Kadang bisa sampe bikin aku emosi. Tapi kenapa ya, banyak orang yang suka itu?”
23.34 : “Maksudnya?”
23.36 : “Iya gitu. Banyak orang yang suka kalau orang lain lagi emosi. Kadang sampe dibuat video. Kata mereka sih, biar viral. Padahal, kan itu hal buruk. Aneh, kan?”
23.38 : “Iya juga, ya. Kenapa coba bisa gitu?”
23.39 : “Kalau kamu balik tanya ke aku, terus apa gunanya aku tanya ke kamu, Eca!!”
23.40 : “Hehehe, biar obrolannya nggak selesai di tengah jalan”.
Di ujung obrolan. Aku biasa memberikan candaan sederhana. Kenapa? karena aku tau sifat Eca. Dia lucu kalau dia sedang jengkel.
23.47 : “Hmm. Sekarang aku tau.., sepertinya.. memang aku adalah orang yang asik untuk diajak bicara”.
23.50 : “Ih. Mulai deh!”
23.52 : “Dah lah, Ca. Aku ngantuk, mau tidur”.
23.55 : “Gini doang? Terus ngapain kamu ngajak aku ngobrol dari tadi?”
23.57 : “Hehehe. Biar ada obrolan di tengah jalan”.
23.59 : “Ah elah”.
00.00 : “Bye Eca.. :)”.
Komentar