SEMENTARA SENDIRI

        Menjelang pagi tiba, aku sedang berada di salah satu warkop tengah kota. Dikarenakan sebuah perut yang tengah ramai berdemo meminta untuk diisi oleh makanan, aku memesan mie goreng dan secangkir teh hangat di sana. Sedang menunggu pesanan tiba, warkop itu memutar salah satu lagu dari grup band Geisha yang berjudul “Sementara Sendiri”. Lagu yang juga menjadi soundtrack film milik Raditya Dika dengan judul “SINGLE”.

            Terpaksa aku sendiri

Sementara saja kini

Bersabarkan datang hari

Meskipun ku lelah

Alih-alih hanya mendengarkan, pikiranku mulai bercerita mengenai rasa sendiri yang tengah aku rasakan saat ini. Sepi. Hampa tanpa tempat bercerita. Tulisanku terhenti tiba-tiba. Hal yang dulu biasa aku lakukan mendadak hilang. Kepedihan yang mendalam karena ditinggal oleh seseorang yang disayangi adalah hal yang menakutkan bagiku. Namun entah bagaimana, hidup seolah tidak mau memberiku jeda untuk berhenti. Dia memaksaku untuk terus bergerak maju.

Hal yang bisa aku lakukan untuk bangkit hanyalah bersabar. Yang menjadi ujian tersulit, dimana harus bersabar menunggu datangnya sebuah pertolongan. Bersabar dengan semua keadaan yang sedang dialami. Masalah yang tidak kunjung menemukan ujungnya membuatku merasa lelah. Ingin menyerah saja lalu mengakhiri segalanya.

Tangisku, mulai sering terulang. Air mataku jatuh tanpa pernah memberikan aba-aba. Dimana saja dan kapanpun itu. Katanya, kalau sedih lalu kembali kepada pemilik hati akan segera mendapatkan obatnya. Tapi kenapa malah sebaliknya, ya? Aku justru semakin ditinggalkan. Tanpa seorang teman yang mendengarkan. Pelampiasannya, aku justru lebih sering berbicara kepada langit. Bertanya, kenapa semua terjadi? Kenapa harus begini akhir ceritanya?

Aku takut kamu tak mengerti

Caraku sampaikan rasa ini

Kamu tak mengerti

Di tengah lamunan, pesananku akhirnya datang. Tidak lekas aku memakannya, aku membiarkan asap yang masih mengepul di makananku pergi. Sejenak aku terbesit sebuah jawaban, “Mungkin, semua kesendirianku hadir karena aku terlalu egois terhadap diriku sendiri”. Bisa jadi, langit yang sering menjadi tempatku bercerita itu sudah memberikan jawabannya, tapi aku tidak tau bahasanya. Bisa jadi karena aku yang terlalu sering merasa sendirian membuatku lupa pada kenyataan kalau ternyata banyak orang yang sudah mengajakku bicara. Larut dalam rasa resah yang aku pendam sendirian membuatku kehilangan arah kendali terhadap diri sendiri. Masalahku yang terpendam terlalu lama juga tidak pernah selesai.

Dalam proses sembuh, semesta menuntunku kepada seseorang yang jauh di sana. Kami mulai berbicara melalui pesan singkat dan beberapa kali melakukan panggilan suara. Seseorang itu adalah perempuan yang sempat aku temui dulu waktu masih kuliah. Dia kakak tingkatku. Dia juga cantik. Suaranya unik saat berbicara. Meski dulu saat pertama kali bertemu dengan dia, aku sempat ketakutan untuk menatap matanya. Ada aura tegas yang tajam seperti harimau kelaparan. Tapi, aku menjadi suka dengan dia setelah kami berdua lebih sering untuk mengobrol. Sifat aslinya keluar, ternyata dia jauh lebih baik daripada yang aku kira.

Aku suka memanggilnya dengan sebutan, “Ka”. Kenapa? Karena aku selalu kebingungan untuk memanggilnya setiap kami berdua sedang ngobrol. Meski usianya lebih tua dari aku, kami berdua suka menggunakan kata “aku, kamu” untuk saling memanggil satu sama lain.

Bye the way, Eca juga pernah tanya ke aku, “Itu ‘Ka’, kayak ‘Kak’ gitu, atau gimana?” Bingung jelasinnya, aku jawab dengan jujur, “Yaaa, gitulah pokoknya..”

Ajarkan aku Tuk bisa dapat

Ungkapkan rasa

Agar kamu kan percaya

Begitu ku butuh cinta

Semakin sering aku mengobrol dengan “Ka”, aku jadi punya perasaan kepada dia. Aku masih belum tau dengan pasti, apakah perasaanku itu cinta atau hanya kagum saja. Aku juga belum bisa mengutarakan perasaanku karena aku masih takut untuk kembali ditinggalkan. Sempat sih, punya harapan untuk bisa jadian sama dia, tapi aku belum punya keberanian untuk mengutarakannya.

Pada akhirnya, aku cuma bisa kembali pada harapan kosong terhadap diriku sendiri. Iya.. sendirian, tapi ngeluh butuh pasangan. Aneh kan? Memang, Eca dan beberapa temanku selalu bilang hal itu kepadaku. Tapi emang seaneh itu ya? Yasudah lah, aku hanya masih belum punya keberanian. Menunggu waktu yang tepat juga masih belum tau itu kapan.

Sambil mengunyah makanan, aku masih tidak menyangka akan punya cerita cinta seburuk itu. Sempat punya seseorang yang baik dengan senyum manis, malah aku tinggalkan. Giliran aku yang sudah siap untuk bertahan, malah justru aku yang ditinggalkan. Waktu didekatkan sama yang menyenangkan buat ngobrol, justru aku yang nggak punya nyali untuk mengungkapkan. Sambil menggelengakan kepala, aku berkata, “Kenapa kisah percintaanku begitu rumit sih?”

Kembali lagi terulang

Tergores hatiku Ini

Setelah lama menyimpan

Rasa ini terlalu dalam

Terlalu dalam

Sempat aku menonton unggahan cerita di Instagram “Ka”, dia pergi ke beberapa tempat wisata. Fotonya hanya menunjukkan sebuah kebun luas dengan dirinya yang membelakangi kamera. Aku bertanya dalam diri, “Kira-kira dia pergi sama siapa ya? Orang baru atau mungkin dia sudah punya kekasih?” pertanyaan yang yang muncul itu sempat membuat risau pikiranku. Alih-alih bertanya secara langsung, aku justru membuat sepihak kesimpulan, “Mungkin dia sudah punya yang baru”.

Aku mengambil kesimpulan cepat sebelum memastikan. Itu karena mungkin aku yang terlalu takut untuk bertanya. Sehingga, kini aku jarang untuk menghubunginya lagi. Alasan ke dua selain itu adalah, tanggapan dia yang kini juga berkurang. “Ka” nggak seseru dulu. Dia mendadak acuh dan jarang membalas pesan dariku. Kadang, pesan yang aku kirim pagi hari baru dia balas ketika malam. Topik pembicaraan yang seharusnya masih hangat untuk dibahas pagi, menjadi hambar saat malam. Bahkan aku jadi lupa, inti bahasannya apa. Hal itu mengingatkanku saat Little Princess memberikan sinyalnya untuk pergi. Dimana kami berdua yang selalu asik dalam mengobrol, tiba-tiba mendadak acuh.

Traumanya terulang, ya? Sepertinya iya. Ketakutanku semakin bertambah. Kesimpulan-kesimpulan dari cara berfikir pendek membuahkan hasil buruk. Pesan terakhirku dengan “Ka” juga belum dia balas. Aku kembali kehilangan teman untuk bercerita. Kalau dibilang menyesal karena tidak mengungkapkan perasaanku ke, “Ka”, sebenarnya juga tidak. Ada asumsi lain yang bilang dari dalam diriku, “Mungkin lebih baik begini”.

Aku pernah mengirim sepuah pesan singkat yang berkata, “Ka, aku lagi bingung, harus nulis apa.. padahal aku pingin banget nulis cerita lagi..”

“Ka” membalas, “Coba kamu nonton Gokusen biar agak nyeleneh dikit”.

“Kamu kenapa sih.. lagi weird mode, ya? Hahaha..”

“Katanya kamu bingung mau nulis apa!”, jawab “Ka”

“Gimana kalau nulis tentang kamu?”

“Pakai nama asli aku?”

“Enggak kok.. pakai nama lain..”

“Siapa?”

“NARA”

“Okke..”

Sekarang di depanku menyisakan setengah cangkir teh yang mulai dingin. Mie goreng yang aku pesan di awal sudah sepenuhnya masuk ke dalam perut. Sedangkan sebuah janji untuk membuatkan, “Ka” cerita tentang seorang manusia dengan nama “NARA” juga belum selesai. Oh iya, “NARA” adalah nama tokoh yang sudah aku sepakati dengan “Ka” waktu itu. Terinspirasi dari susunan nama asli “Ka” yang sudah diotak-atik.

Ku benci sendiri

Harus terus begini

Ku benci sendiri

Takut gagal terus begini

Sebatang rokok mulai aku nyalakan, aku merenung di hadapan sepasang sendok dan garpu. Mereka terlihat serasi saling melengkapi. Dua benda yang cukup mudah membuatku bersedih. Iri. Ingin sekali punya pasangan dari sebuah keberanian untuk mengungkapkan perasaan. Aku benci hal ini, aku benci rasa kesepian yang membuatku takut untuk percaya pada diri sendiri.

Eca pernah bilang kepadaku, “Kenapa nggak coba jujur ke diri sendiri dulu? Ceritain semua hal tentang diri kamu. Kalau kamu suka nulis, jadiin nulis buat media kamu bercerita. Salurin emosi kamu di sana. Entah siapa yang akan baca, setidaknya kamu punya rasa puas buat bisa jujur sama diri kamu sendiri. Sekarang masalahnya bukan di luar, Gala. Tapi di dalam diri kamu sendiri. Lawan itu. Lakuin sampe selesai, jangan pernah putus di tengah jalan terus lari. I know if  you can do until the end. Kalau capek itu istirahat, jangan malah lari terus cari tempat sembunyi. Nggak ada yang perlu ditakutin buat kalahin diri sendiri. Dan yang terakhir, jangan buru-buru ambil kesimpulan kalau semua hal yang udah kamu mulai akan berujung dengan kegagalan. Ayo tetep semangat, Galandra. Kamu bisa.”

Komentar

Postingan Populer