FARA DAN KOTA YANG JAUH DARI ECA (Part I)

Hari terakhir di kota ini. Fara menghubungiku melalui pesan singkat. Dia bilang kalau akan menjemputku di lobby penginapan pukul sepuluh pagi. Fara memintaku untuk menemaninya pergi ke satu tempat. Entahlah, aku hanya menuruti permintaannya itu, “oke, jam sepuluh ya.”

Sekarang masih pukul delapan pagi. Masih ada dua jam sebelum Fara menjemputku. Di kamar penginapan, ada balkon kecil. Kira-kira ukurannya dua kali dua. Tempatnya memang tidak luas, tapi cukup untuk satu bangku dan satu meja. Aku memilih untuk menunggu Fara sambil menikmati kopi susu di balkon itu. Pemandangan dari luar kamar terlihat indah. Sebagian kota, bisa aku pandang dengan leluasa. Dari jauh, juga terlihat laut yang membentang luas ke arah samudra.

Embun pagi mungkin telah menghilang, panas terik matahari juga mungkin sudah terasa sedikit menyengat. Tapi ada satu hal yang menyenangkan di pagi ini. Suasana hatiku seperti terbawa ke masa lalu. Aku seperti tidak asing dengan suasananya. Seperti pernah mengalaminya di waktu yang berbeda. Terus terang, aku masih lupa bagaimana kejadiannya. Hanya saja, ini semua terasa damai.

Di samping kopi yang telah aku seduh. Rokok yang terbakar perlahan, juga menemani. Asbak kecil yang menjadi wadah putungnya terisi sedikit demi sedikit. Pandanganku tertuju pada dunia kota ini. Dalam hati, aku berkata, “andai saja aku punya pasangan, mungkin kita berdua akan membuat cerita dengan obrolan sederhana.”

Jam sembilan pagi, aku mulai bersiap diri. Masuk ke bilik kamar mandi lalu berdandan rapi. Bekal yang harus aku siapkan telah masuk ke dalam tas kecil. Kemudian, aku keluar dari kamar menuju lobby penginapan. Tersisa tiga puluh menit lagi sebelum Fara datang. Sarapan pagi ini adalah seporsi sup iga yang ditemani oleh satu gelas jus buah. Aku juga meminta kepada pelayan penginapan, “air putihnya satu gelas.”

Setelah kenyang dengan makan pagi. Fara datang menghampiri, “kamu rapi banget pagi ini. Udah siap buat petualangan di hari terakhir, ya?”

Aku menyahut, “memang di hari kemarin, aku nggak rapi ya?”

“Enggak gitu juga sih. Tapi hari ini kamu lebih wangi dan rapi. Aku suka,” kata Fara sambil membagi senyum ramahnya.

Akhirnya, tepat pukul sepuluh pagi, kami berangkat dari penginapan. Seperti biasa, aku yang mengemudikan mobil milik Fara, sedang dia duduk di sampingku. Dia masih cantik hari ini. Baju berwarna hitam dengan lengan panjang, celana longgar berwarna abu-abu, dan kerudung yang hanya menyisakan wajahnya membuat dia penuh dengan pesona.

“Kita mau kemana?” tanyaku kepada Fara.

“Kali ini aku akan ajak kamu menuju tebing dengan pemandangan paling indah,” jawab Fara.

“Wah, keren itu. Tapi biasanya, tempat seperti itu ramai pengunjung,” kataku dengan sedikit rasa pesimis.

“Tenang aja. Tempat ini masih belum terkenal di media sosial,” Fara menjawab dengan penuh keyakinan.

Mobil yang kami kendarai, melaju menuju tempat itu. Tebing yang tidak aku ketahui namanya itu berada di balik sebuah lembah hijau yang dikelilingi oleh pohon-pohon pinus tinggi. Cuaca cerah hari ini semakin mendukung suasanya. Aku tidak sabar untuk segera sampai ke tempat tujuan kami. Atau lebih tepatnya, ke tempat indah menurut Fara.

Selain pemandangan indah di sekitar lembah. Fara memutar beberapa lagu favoritnya. Mulai dari yang beraliran pop hingga rock. Aku sempat bertanya kepada Fara, “musik kamu random banget, Fara”.

Fara tertawa, dia menjelaskan, “musik itu memang ada banyak alirannya. Tapi yang menarik dari musik adalah bagaimana cara kita buat nikmatin itu semua.”

Dalam hati, aku menyetujui penjelasannya. Fara benar, kalau aliran musik di dunia ini memang banyak. Tidak harus kaku pada satu aliran saja, tapi menuntut kita untuk menerima itu semua. Memang, semua orang selalu unik dengan seleranya masing-masing.

Lima belas menit kemudian, kami berdua sampai di tujuan. Sebuah tempat dimana tebing-tebing tinggi lebih indah dari bangunan kota. Tebing yang membuat jarak antara permukaan laut dan daratan menjadi surga bagi yang memandangnya. Tempatnya masih sepi. Hanya satu dua orang yang datang dengan menggunakan motor tua untuk mengambil rumput bagi ternak mereka. Kata Fara, itu memang penduduk lokal yang sedang bekerja, jadi tidak perlu khawatir.

Kami berdua keluar dari dalam mobil. Bersandar di bagian depan kap lalu memandang keindahan dunia dari tepinya. Laut biru yang membentang luas tanpa halangan membuat kami berdua merasakan angin berhembus kencang. Cuaca terik siang hari tidak begitu terasa menyengat. Meski Fara menggunakan kacamata hitam agar tidak silau.

“Fara, kamu tau tempat ini dari mana? Tempatnya indah banget,” kataku memuji tempat itu.

Fara menjawab, “Ini tempat pelarianku, Gala.”

Aku yang mendengar jawaban Fara, menelan ludah. Diam tidak berkata. Tapi Fara tetap melanjutkan penjelasannya, “kamu tau kan, kalau setiap orang pasti butuh tempat pelarian. Ada yang pergi ke pantai, ada yang mendaki gunung, ada juga yang menutup diri dari keramaian. Dan aku jadi salah satunya. Aku menutup diri dari keramaian waktu sedang suntuk. Rasanya tenang, setelah datang ke tempat ini. Pemandangan yang luas, membuat hatiku lebih lapang menerima keadaan. Kalau kamu suka, suatu saat waktu kamu balik lagi ke kota ini. Kamu bisa ke sini lagi.”

“Kenapa kamu bawa aku ke sini, Fara?” kataku kepada Fara.

Fara mengambil nafas panjang, lalu menghembuskannya secara perlahan. Angin yang menerpa kami berdua terasa sangat menenangkan. Fara tersenyum tipis, bibirnya memberi pertanda kepadaku bahwa dia tengah bersyukur. Tanpa tau alasan Fara, benakku juga merasakan bahagia.

“Nggak semua hal bisa diceritain sih, Gala. Buat aku, bisa punya temen yang dengerin cerita aku, udah lebih dari cukup. Kadang, kalau aku dateng ke sini sendirian, aku pasti nangis. Padahal sedang nggak terjadi apa-apa. Cuma rasanya ada yang beda aja. Perasaanku jadi lega. Dan kenapa aku ajak kamu ke sini? Aku juga nggak tau. Semua kejadian kita kayak udah ada yang rencanain. Sejak di kereta sampai di sini. Aneh ya? Hehehe..”

“Nggak juga sih, aku masih inget kata-kata kamu waktu itu. Kamu bilang kalau dunia sedang menyusun cerita buat kita. Meski aku nggak tau, tapi aku rasa ucapan kamu benar. Dan mungkin aja, itu yang sekarang kita alami.”

Fara bertanya, “kira-kira menurut kamu gimana, Gala?”

“Hmmm..” aku diam dan berpikir sejenak. Tanganku memengang dagu kepala, lalu berkata, “mungkinnn.. kita punya takdir yang nggak jauh beda.”

Dalam setiap peribadi yang ingin tumbuh dan berkembang. Setiap manusia pasti mengalami sebuah perubahan. Entah itu yang membuatnya lebih baik dari sebelumnya atau sebaliknya. Setiap orang memiliki jalan hidup yang membingungkan untuk dijelaskan. Jalan keluarnya adalah melakukan penerimaan. Harapan dan impian yang mereka tanam sejak kecil juga ikut berkembang. Itu sebabnya, selalu ada kebingungan yang menakutkan dalam diri seseorang. Termasuk diriku dan Fara yang dipertemukan oleh alur cerita dunia tanpa ada aba-aba.

Aku yang kini sudah berusia dua puluh lima masih terjebak dalam pola yang sama. Ketakutan dengan diri sendiri. Dan Fara juga sama, dia tengah takut dengan kebingungan masa depannya. Tapi dunia bukan sesuatu yang menakutkan, ada pemandangan indah yang membuat diri merasakan tenang. Seperti pelarian kami berdua ke tebing pinggir laut samudra.

Sebelum kembali, Fara bilang kepadaku, “Gala, kalau kamu punya orang yang mau dengerin kamu cerita tentang banyak hal. Pertahanin dia. Kalau bisa, ikat dia dengan pernikahan. Karena, yang tersisa sampai nanti kita tua itu cuma obrolannya aja. Jadi, jangan pernah tinggalin orang yang ngerelain waktunya buat ngobrol sama kamu.”

Komentar

Postingan Populer