FARA DAN KOTA YANG JAUH DARI ECA (Part II) -Kembali-
Waktuku menikmati hari di kota lain bersama Fara telah selesai. Kini, aku kembali ke asalku. Kota yang penih dengan gedung-gedung tinggi. Kota dimana aku memiliki kemungkinan untuk bertemu dengan Eca kembali. Aku ingin melepas rindu dengan dia setelah hilang tanpa kabar satu tahun yang lalu. Meski sempat merasakan bingung harus mulai dari mana, aku memutuskan untuk mengirim pesan kepada Eca. Mengajaknya untuk bertemu di salah satu cafe tengah kota.
Jam dua siang waktu libur akhir pekan. Aku sudah berada di tempat pertemuan yang kami sepakati. Dandanan rapi menggunakan baju kemeja dan celana jeans hitam, aku mempersiapkan semuanya. Hanya satu yang belum aku siapkan. Bagaimana cara menyapanya. Rasa bingung dan bersalah terbesit di dalam nurani hati. Gelisahku mengiringi. Kaki kananku tidak bisa diam, gemetar seolah sedang menghitung waktu. Dari kejauhan, aku melihatnya. Eca dengan pakaian yang rapi juga. Dia terlihat cantik hari ini.
“Hai..” Eca menyapaku terlebih dulu. Dia tersenyum ke arahku. Manis.
“Hai..” jawabku dengan sedikit keraguan. Kami berdua saling berbagi tatap sejenak. Waktu terasa berhenti sekian detik. Memberi kami kesempatan untuk memandang mata sedikit lebih lama.
“Duduk, Ca..” aku mempersilahkan Eca untuk duduk. “Kamu sudah pesan, belum?” tanyaku kepada Eca.
“Belum. Tadi baru masuk langsung ke sini.” kata Eca.
Dia terlihat lebih kalem dari satu tahun yang lalu. Ini membuat situasi terasa aneh. Eca bukan lagi seperti yang aku kenal.
Aku menawarkan, “kalau begitu, kamu mau pesan apa?”
“Aku pesan sendiri aja, Gala. Gak apa-apa kok. Tunggu sebentar di sini, ya..”
Eca menuju kasir cafe, memesan minuman yang aku sudah lupa dengan menu favoritnya. Sedangkan di meja, hanya ada satu minuman panas. Hot Cappucino. Selang beberapa lama, Eca kembali ke meja. Dia duduk di hadapanku. Sembari dia merapikan pakaiannya, aku melihat ke arahnya ambil tersenyum tipis.
“Kabar kamu gimana, Ca?” tanyaku.
“Aku baik kok. Kalau kamu?” balas Eca.
“Baik juga.”
“Syukurlah kalau begitu.”
Setelah sekian lama berpisah dengan Eca. Obrolanku kini tidak semenarik satu tahun lalu. Kami berdua sama-sama canggung. Sama-sama kehilangan topik pembicaraan. Kami berdua lebih banyak diam daripada berbicara hal yang lainnya, setelah berbagi kabar. Hingga pesanan Eca tiba, aku kembali mencoba untuk berbicara.
“Kamu pesan susu panas, Ca?”
“Iya. Masih sama kayak dulu.”
“Maaf, Ca. Aku nggak inget.”
“Iya, nggak apa-apa kok, Gala.” Eca menjawab obrolanku dengan aneh. Dia seolah menahan kesal kepadaku.
“Kamu masih marah ya, Ca?” tanyaku dengan sedikit rasa ragu.
Eca yang sedang mengaduk susu panas itu bertanya dengan lirih, “kamu kemana aja, Gala? Satu tahun hilang tanpa kabar, terus dateng lagi minta ketemu.”
“Maaf, Ca. Aku pergi gitu aja tanpa kasih tau kamu. Aku takut ganggu pekerjaan kamu.”
“Basi, Gala. Kamu masih belum berubah. Masih takut seperti satu tahun lalu.”
“Maaf, Ca. Aku minta maaf.”
Pandanganku tertunduk saat aku mengucapkan kata-kata itu. Aku menyesal sudah pergi tanpa memberi kabar kepada Eca. Dan sekarang, aku tidak tau harus apa. Di kepalaku hanya ada satu kata lain setelah maaf.
“Ca, aku kangen kamu.”
Eca yang mendengar kata-kata itu menjadi diam seketika. Ekspresinya berubah. Bola matanya membesar. Dia terkejut namun tidak bersuara.
“Kamu boleh marah sama aku, Ca. Tapi izinin aku buat kangen sama kamu. Aku nggak tau harus apa selain ngomong itu.”
Kemudian, Eca berdiri dari kursinya. Susu panas yang dia pesan masih utuh.
“Sekarang udah bilang kangen kan? Udah ketemu juga. Kalau gitu, aku pergi pulang dulu, Gala,” Eca pergi meniggalkan meja. Berjalan menuju arah pintu keluar. Namun aku tidak tinggal diam.
“Ca!! Eca, tunggu dulu,” aku berdiri, “aku belum selesai bicara. Kamu kenapa sih? Masih marah? Kalau mau marah, caci maki, lakuin aja, Ca. Jangan pergi gitu aja.”
Eca berputar arah, dia berjalan menuju ke arahku. “Kalau kamu mau ngomong gitu, ngomong ke diri kamu dulu. Jangan ke aku. Memangnya yang pergi tanpa kasih kabar itu kamu atau aku?”
Eca mulai meninggikan suaranya. Wajahnya merah, matanya berkaca-kaca. “Kamu tuh, ya. Kenapa nggak berubah sih, Gala. Dari dulu selalu minta diperhatiin. Didengerin. Nggak mau ngertiin orang lain. Kalau mau egois, jangan ke aku. Ke diri kamu sendiri aja.”
Air mata Eca jatuh perlahan-lahan. Dia mencoba menahan untuk tetap tegar, namun Eca juga seorang manusia. Dia berhak untuk bersedih. “Kamu tau nggak, Gala. Waktu kamu pergi tanpa kabar terus aku coba hubungi kamu tapi nggak pernah kamu bales, rasanya kayak gimana? Kacau Gala, Kacau. Semuanya kacau. Aku nggak fokus sama kerjaan aku. Ke diri aku. Aku tuh mikirin kamu, Gala. Dan sekarang, waktu aku udah mulai biasa tanpa kamu. Kamu dateng lagi terus bilang kangen. Mau kamu tuh apa?”
Seperti ditampar oleh diriku sendiri. Eca meluapkan semua kesal dengan linang air mata yang membasahi pipinya. Dia bersedih di depanku. Tapat dihadapan ke dua mataku. Aku mencoba untuk memeluknya. Namun Eca menolak. Lalu pergi meninggalkan cafe. Aku tidak mengejarnya, tubuhku kaku. Mulutku diam tidak berkata apa-apa. Dalam hati, aku hanya dapat bergumam menahan perih.
“Maafin aku, Ca”
Komentar