IZINKAN AKU JATUH CINTA

Aku merancang sesuatu yang tak pernah diajarkan dalam buku panduan teknik sipil. Sebuah bangunan yang berdiri dari doa-doa kecil, dari tawa yang sempat tertukar, dari detak jantung yang malu-malu menyebut nama. Tak ada denah. Tak ada skala pasti. Hanya satu keinginan yang perlahan menjelma menjadi bentuk: izinkan aku jatuh cinta.

Kau berdiri di sana, di ujung lapangan, mengenakan sesuatu yang sederhana. Tapi sinarmu memantulkan cahaya yang jauh lebih kuat dari lampu-lampu sorot yang biasa kupasang tiap malam di proyek. Wajahmu bukan sekadar cantik. Tapi hangat. Seperti sore yang tak tergesa pulang. Dan aku, yang biasanya dingin seperti semen sebelum diaduk, mulai luluh secara perlahan.

Kau melambai, tidak sepenuhnya yakin. Tapi dalam lambaimu, ada jeda yang tak biasa. Seolah kau menyapa bukan karena tahu siapa aku, tapi karena merasa seolah aku akan mengerti. Dan aku memang mengerti. Sebab sejak detik itu, aku tahu bahwa kau bukan sekadar datang hanya untuk melihat rancangan. Kau datang untuk ikut menggambar sesuatu di dalam hatiku yang selama ini kubiarkan kosong.

Tatapan matamu lebih indah dari semua lampu jalan yang pernah kupasang di puluhan lokasi. Tak berlebihan. Hanya terlalu jujur. Dan jujur, kadang dapat membuat orang sekarat pelan-pelan. Aku mendengarmu berbicara tentang kucing tetangga, tentang nasi goreng kesukaanmu, tentang jendela yang selalu terbuka agar angin bisa masuk. Aku mendengarmu tanpa menyela, tanpa rencana untuk membalas. Karena dalam setiap kalimatmu, ada sesuatu yang membuatku ingin mendengarkan lebih lama.

Kau tidak tahu, mungkin. Tapi sejak percakapan itu, aku tak lagi menggambar hanya untuk menyelesaikan proyek. Aku menggambar karena ingin membangun sesuatu yang bisa kita tinggali bersama. Kau menyarankan letak kamar tidur. Aku menyarankan bentuk jendelanya. Kau tertawa ketika aku salah menyebut warna, dan aku menatapmu lebih lama dari seharusnya saat kau menceritakan hal-hal kecil yang membuatmu merasa aman.

“Letakkan kamarnya di sana saja,” katamu ringan, sambil menunjuk sebuah sisi halaman. Kau seperti anak kecil yang sedang mendekor ulang rumah bonekanya. Dan aku, dengan bodohnya, membayangkan kita benar-benar tinggal di sana. Di rumah itu. Dengan warna cat pilihanmu. Dengan meja makan kecil. Dengan rak buku yang berisi campuran selera kita.

Tapi aku tahu, bahkan saat rancangannya selesai, kau tak sepenuhnya ada. Kau datang sebagai pengunjung, bukan sebagai pemilik. Kau menyentuh, lalu pergi. Meninggalkan bekas di sandaran kursi, di gelas yang tak habis airnya, di pot tanaman yang sempat kau pindah tempatnya. Dan aku, tetap berdiri di sana. Menatap rumah yang kupikir milik kita, tapi rupanya hanya tempat kau singgah sebelum menemukan arah pulangmu sendiri.

Aku bertanya dalam diam, “apakah rumah ini hanya persinggahan bagimu?” Kau tak menjawab. Tapi saat langkahmu menjauh, aku tahu. Dinding ini terlalu rapuh untuk menahan kepergianmu.

Dan sejak saat itu, aku tak lagi percaya pada kata “bersama”. Aku hanya percaya bahwa cinta, kadang tak butuh memiliki ruang tetap. Ia cukup tumbuh. Diam-diam dan perlahan. Meski pada akhirnya tak pernah ditempati.

Rancangannya memang selesai tepat waktu. Tapi kau tak datang untuk melihatnya. Tak mengucapkan selamat. Tak menyentuh dinding yang pernah kita rancang. Dan aku berdiri sendirian, di tengah ruang kosong, bertanya apakah benar semua ini hanyalah rencana sepihak dari diriku sendiri.

Teropongku tak lagi mampu menemuimu. Tak ada peta yang bisa mengarahkanku ke tempat di mana kau tinggal sekarang. Karena ternyata, yang hilang bukan sebuah alamat. Melainkan sebuah keinginan.

Karena cinta, yang dulu kukira akan kita bangun bersama, kini hanya menjadi satu hal: sebuah maket kecil, yang terlalu penuh harap tapi tak punya siapa-siapa untuk menyapanya pulang.

Malam-malam setelahnya terasa sangat panjang. Aku mencoba mengerjakan desain lain, proyek lain, percakapan lain. Tapi setiap garis yang kutarik di atas kertas putih, di setiap pintu yang kugambar di sisi denah baru, semuanya seperti mencuri siluetmu. Tanganku menggambar bangunan, tapi pikiranku menggambar dirimu.

Aku bertanya-tanya apakah kau juga pernah merindukan hal yang sama. Bukan aku, mungkin. Tapi sebuah suasana mengenai percakapan yang ringan. Aroma kopi di atas meja ruang gambar. Deru hujan yang terpantul dari kanopi seng. Atau suara napasku yang terlalu sering tertahan setiap kali kau bicara.

Aku menulis namamu di sudut halaman kerja, lalu menghapusnya. Berkali-kali. Seolah dengan begitu aku bisa menghapusmu dari struktur pikiranku. Tapi nyatanya, aku hanya menebalkan bayangmu. Menjadikannya fondasi yang tak bisa kubongkar, bahkan ketika bangunan baru harus segera berdiri.

Orang-orang berkata, cinta tak selalu butuh logika. Tapi aku justru mencintaimu dengan semua logika yang kupunya. Aku tahu kau tak pernah berjanji. Aku sadar kau tak pernah berkata akan tinggal. Tapi bagaimana mungkin aku tak membangun harapan, saat kau ikut memilih warna cat untuk dinding yang tak jadi kau tinggali?

Aku duduk di beranda rumah yang belum sepenuhnya rampung. Kursi lipat dan secangkir teh yang tak lagi hangat menemani sisa senja. Dan di sana, aku kembali melihatmu. Bukan secara nyata. Tapi dalam bayangan. Dalam kenangan. Dalam sesuatu yang tak bisa kutolak kehadirannya.

Cinta ini mungkin bukan untuk dimiliki. Tapi untuk dihormati. Karena tidak semua hal indah harus berakhir dengan kebersamaan. Kadang, cukup dengan mengingat bahwa pernah ada seseorang yang membuatku merancang rumah dengan hati, bukan hanya dengan kepala.

Dan bila suatu hari kau datang lagi, bukan untuk tinggal, tapi hanya untuk sekadar lewat. Ketahuilah bahwa masih ada satu jendela yang kubiarkan tetap terbuka. Bukan untuk menunggumu pulang. Tapi karena aku belum sanggup untuk menutupnya.

Izinkan aku jatuh cinta. Sekali saja. Tanpa rencana. Tanpa balasan. Karena mungkin, cinta seperti ini... justru yang paling nyata. Dan saat aku menatap kembali cetak biru yang pernah kita sentuh bersama, aku akhirnya mengerti: Cinta tidak selalu butuh bentuk. Tidak harus menjadi atap yang memayungi atau dinding yang mengurung. Kadang, cinta adalah ruang terbuka, di mana tempat segala yang tidak selesai bisa tetap bernapas.

Aku belajar bahwa mencintai tak selalu tentang memiliki. Bahwa kehadiranmu, sesaat pun, cukup untuk membuatku percaya bahwa hati ini masih bisa dirancang ulang setelah sekian lama dibiarkan kosong. Dan meski kau tak pernah kembali, kau telah mengajari satu hal penting: bahwa cinta, sesederhana apapun bentuknya, pantas untuk diberi tempat.

Aku tidak tahu apakah cinta ini akan terus bertahan, atau perlahan hilang ditelan musim yang datang dan pergi. Tapi satu hal pasti: ia telah membentuk ulang caraku melihat dunia. Caraku melihat senja. Caraku membuka pintu. Dan caraku menata ulang ruang di dalam diriku sendiri.

Jadi jika ada yang bertanya, rumah seperti apa yang pernah kuimpikan? Akan kujawab dengan tenang: Rumah yang tak sempat dihuni, tapi pernah hampir kau tinggali.

 

Dan cinta itu,

tetap berdiri dalam diam.

Meski tak berpenghuni,

tetap layak disebut rumah.

Komentar

Postingan Populer