JAM MALAM
Jam satu malam. Jam dimana waktu terbaik untuk melakukan recovery tubuh, mempersiapkan diri untuk tenaga yang lebih baik untuk esok pagi. Bekerja. Memulai kembali rutinitas harian dengan banyaknya tekanan dari luar. Namun di sinilah aku, masih terjaga. Dengan mata yang menyala, sambil merangkai kata-kata. Entah, aku masih kebingungan dengan bagaimana masa depanku. Apakah akan menjadi lebih baik, atau sebaliknya. Aku juga masih memiliki ragu untuk bertahan dengan mimpi sebagai penulis buku. Aku lebih suka bermain dalam dunia yang aku buat sendiri. Dalam bayang imajinasi yang mungkin akan membuat semua orang memiliki anggapan bahwa aku sebenarnya gila. Terjebak sendirian. Bingung arah hidupnya mau dibawa kemana. Kompas anginnya tidak bekerja dengan baik. Tapi aku ingat, arah barat. Arah dimana orang-orang muslim nusantara melakukan sujudnya.
Usia dua puluh empat tahun telah aku lewati sebagian. Namun aku belum juga memiliki apapun yang aku mau. Gaji bulanan yang aku dapat memang lumayan, namun aku memilih untuk membaginya setengah dengan orang-orang yang aku sayang. Ibu, keluarga, saudara, bahkan sedekah rutin setiap hari jumat sudah aku lakukan tanpa sadar selama satu tahun lebih. Hal itu sungguh di luar apa yang aku sangka. Tidak pernah terbayangkan aku bisa konsisten melakukannya. Padahal, aku hanya ingin membagikan apa yang aku punya dengan cara yang aku bisa. Ketika gaji telah masuk ke dalam rekeningku, aku selalu mengirimnya dengan jumlah yang telah aku hitung. Nominal yang sama. Kepada orang yang sama. Dengan niat yang sama.
Sejak aku kuliah, aku baru memulai impianku. Sederhana. Membantu orang lain. Melihat mereka tertawa dengan lepas tanpa beban. Aku melakukannya karena aku yang melihatnya saja sudah merasa senang. Tapi sepertinya, itu juga keinginan semua orang. Yahh, sejujurnya aku selalu iri jika melihat orang lain bisa membantu dengan harta dan tahta mereka. Aku iri dengan cara mereka berbuat kebaikan.
Lalu bagaimana dengan Eca? Dia sudah lama tidak berkabar denganku sejak malam itu. Sejak malam cerah dengan percakapan yang sedikit menegangkan hingga membuat Eca meneteskan air matanya. Meski pada akhirnya kami berdua saling memaafkan.
“Ca.. kira-kira nih, bisa nggak ya.. di umurku yang ke dua puluh tujuh tahun nanti bisa punya rumah sendiri.. terus di umur tiga puluh tahun bisa keliling dunia tanpa perlu mikirin uang..?”
“Emang ya.. kamu nggak pernah capek kalau udah bahas soal mimpi.. nggak capek apa?”
“Capek sih.. tapi buat aku.. mimpi tuh bisa jadi harapan buat terus bertahan hidup..”
“Hmm.. bisa sih.. aku percaya..”
“Percaya soal apa nih?”
“Ah elah, baru aja kamu tanyain.. masa udah lupa..”
“Soal mimpi?”
“Gini ya, Gala.. kamu tuh sebenernya bisa loh, hidup santai tanpa mikirin apa yang belum bisa kamu milikin sekarang. Belajar bersyukur sama apa yang ada aja.. nggak usah ribet..”
“Emangnya kamu sendiri nggak punya mimpi?”
“Hidup sederhana tanpa ada keinginan lebih banyak itu juga mimpi, Gala.. tapi kadang kita sebagai manusia sering lupa sama yang kita punya.. contohnya nih, kamu udah pakai baju sama celana.. terus kamu lihat di internet kalau ada baju dan celana baru dari merek terkenal.. terus kamu tiba-tiba mau beli..”
“Tapi kan, kita bahas soal mimpi, Ca.. bukan baju atau celana..”
“Kamu tuh bodoh nggak ketulungan ya.. emangnya, apa sih arti mimpi itu?”
“Hmm, mimpi tuh.. hal yang buat kita bisa bertahan hidup.. sebuah harapan untuk masa depan yang lebih cerah dalam hidup yang kita mau.. bekerja sesuai apa yang kita inginkan.. nulis cerita yang kita mau.. bahkan mimpi itu bisa merubah kehidupan orang menjadi lebih layak dari sebelumnya..”
“Seperti?”
“Berbuat baik dari hasil mimpi kita..”
“Terus, gimana cerita soal NARA? Katanya kamu mau nepatin janji kamu..”
NARA.. tokoh fiksi dari cerita yang ingin aku buat untuk “Ka”. Draft-nya memang sudah aku kirimkan ke dia. Tapi sekarang aku tidak bisa melanjutkan ceritanya. Kenapa? Karena dalam konsep cerita NARA ada bagian yang aku belum bisa aku dapatkan. Romantismenya. Romansa percakapannya. Suasana yang membuat NARA bisa bersatu dengan manusia yang dia cintai.
Untuk review cerita dari draft yang aku kirim juga sudah “Ka” kirimkan kepadaku. Katanya, “cerita NARA udah aku baca 6 halaman, but, kalo emang ini mau kamu terbitkan berarti gak bisa dibaca buat semua dong. Ada range usia yg membatasi secara gak langsung.. Overall okay cuma ada beberapa part yang kurang tepat penandaan.”
“Kalau menurut kamu, gimana, Ca?”
Tapi aku lupa, bahwa aku dengan Eca sudah lama tidak saling berbagi kabar lagi. Kabar terakhir Eca yang aku tau adalah dia sedang sibuk untuk naik jabatan di kantornya. Eca menjadi salah satu kandidat kuat yang dipromosikan untuk menjadi pimpinan divisi di kantornya. Jadi, waktu untuk aku bertemu dan mengobrol dengan Eca menjadi korbannya. Di lain sisi, aku senang. Karena teman terbaikku akhirnya menemukan jalan untuk hidupnya.
Sementara aku.. masih begini-begini saja. Berharap kepada mimpi yang tidak pasti untuk menjadi seorang penulis terkenal dengan karya bukunya. Aku ingin hidup dalam cerita yang telah menjadi buku untuk suatu saat nanti. Menjadi bagian dalam sejarah yang mencatat bahwa aku pernah tinggal di dunia ini.
Lawanku saat ini adalah diriku sendiri. Benar kata Eca, bahwa untuk keluar dari rasa malas penuh alasan itu lebih berat daripada melawan hal lain di dunia. Karena yang kita lawan adalah zona nyaman diri sendiri. Pikiran kita yang ingin mendapatkan sesuatu harus melawan dengan penuh perjuangan hanya untuk membuat tubuh bergerak. Dan pertanyaannya adalah, kalau isi pikiran tidak disalurkan dengan baik, apakah kita akan baik-baik saja? Jawabannya tidak. Tubuh yang baik adalah tubuh yang bergerak melakukan apa yang ada dalam pikiran kita. Itu sebabnya, banyak orang yang berolahraga agar tidak menumpuk pikirannya lalu kemudian stress.
Perpisahan dalam cerita malam ini adalah tidak ada. Kini kantuk mulai datang menyapa. Aku akhirnya menyelesaikan rangakaian kata-katanya menjadi sebuah susunan paragraf. Mungkin tanpa rima yang senada dan sajak yang indah. Tapi aku bangga.
“Satu kata lebih baik, daripada tidak sama sekali”
Komentar