KA, AKU KANGEN…

Gala : “Ca.. mungkin nggak sih, purnama itu bisa jadi yang paling terang kalau nggak ada bintang?”

Eca : “Mana aku tau Gala.. lagian kamu kenapa tiba-tiba bahas ginian deh?”

Gala : “Aku kangen seseorang, Ca..”

Eca : “Kangen siapa? Si Putri Kecil?”

Gala : “Bukan, Ca..”

Eca : “Si Nona Pendiam?”

Gala : “Bukan juga..”

Eca : “Terus kangan sama siapa?”

Ini udah yang ke sekian kali aku merasakan hal yang tidak aku suka. Kerinduan yang aku sendiri tidak tau kenapa hadir tiba-tiba. Aku merindukan obrolan bersama, Ka. Obrolan singkat yang entah kenapa aku suka. Kita membahas hal-hal sederhana yang sedang terjadi di hari itu. Setiap malam. Setiap sebelum mengucapkan selamat tidur pada diri masing-masing. Aku cerita kepada Eca. Meski aku dan Ka belum pernah bertemu setelah acara waktu itu. Acara yang selalu diadakan secara rutin setiap tahunnya. Dimana semua alumni organisasi berkumpul untuk membahas pertanggung jawaban penjabat organisasi. Kami semua lebih sering menyebutnya kegiatan LPJ.

Dua tahun yang lalu, di sebuah Villa yang telah dipesan oleh panitia penyelenggara kegiatan. Aku hadir di sana lebih awal. Menjadi penerima laporan materi dari setiap divisi yang telah usai menjalankan tugasnya selama masa periode. Kegiatan itu berlangsung lancar tanpa kendala. Semua laporan tersampaikan dengan baik. Hingga menjelang tengah malam dia datang bersama salah seorang temannya dari angkatannya. Ka, datang tepat pukul jam sebelas malam. Dengan hoodie berwarna hitam, celana kain panjang, dan kerudung yang menutup rambutnya. Aku tau itu Ka, tau karena memang seperti itulah kebiasaan yang membuatnya nyaman dengan dirinya sendiri. Aku dan Ka, saling berbagi tatap meski hanya sebentar. Kami berdua saling diam dan tidak menyapa.

Malam itu, aku belum mengenal Ka sepenuhnya. Kami berdua juga tidak dekat. Hanya saling tau nama masing-masing. Aneh rasanya, tidak ada angin yang membawa kabar, aku mulai penasaran dengan Ka. Bukan karena sebuah alasan tertentu, aku hanya bingung harus bagaimana saat naluri dalam hatiku berkata bahwa Ka adalah wanita yang baik dan menyenangkan. Mungkin semua itu ulah dari semesta. Mengirim sinyal tanpa aba-aba kepadaku.

Sejujurnya, aku tidak tau. Apakah Ka, akan merasakan hal yang sama. Yang aku tau, aku merasakan rindu kepadanya. Dalam sekali. Dingin. Tapi nyaman. Bisa membuat senyum bibir muncul tiba-tiba. Memori yang belum sempat dibuat juga mengatakan hal yang serupa. Apakah aku harus mulai menyapanya terlebih dahulu? Pesanku waktu itu juga belum dibalas olehnya hingga sekarang. Apakah dia sudah ada yang baru? Sudah memiliki kekasih?

Rata-rata, teman satu angkatannya sudah banyak yang menikah dan punya pasangan. Setidaknya punya kekasih yang bisa mereka sebut dengan pacar. Apakah Ka juga sudah punya pacar juga? Aku ragu untuk bertanya. Takut. Dan entahlah. Hanya takut dan ke khawatiran yang aku rasakan. Kalau aku diizinkan untuk berharap. Aku akan berdoa agar kami berdua bertemu dan kembali berbicara. Menghabiskan waktu berdua di teras rumah atau dimana saja. Menatap langit malam yang penuh dengan bintang. Tanpa awan. Atau hanya beberapa awan tipis dan satu bulan purnama yang benar-benar cerah. Topik obrolannya juga sederhana. Dimulai dari bertanya mengenai bagaimana hari-harinya, hingga ke pertanyaan yang mengundang gelak tawa menggemaskan. Sesekali Ka memukul pundakku juga tidak apa-apa. Aku rela dengan hati terbuka menerimanya.

Eca bilang, “kalau kamu kangen, katakan saja, apa susahnya?”. Aku menjawab, “Begitulah cinta bekerja, Ca. Semua yang kita inginkan akan terasa berat untuk dilakukan meski hanya bertanya sebuah kabar. Kemurnian cinta ada di sana. Di sebuah hal yang kita pikir mudah namun susah untuk dilakukan. Seperti ada dinding yang memberikan batas pada diri kita sendiri. Sebenarnya, aku tidak tau tentang, “apa itu cinta”. Tapi kata orang, cinta itu dirasakan bukan dijelaskan. Cinta itu diterima tanpa ada rencana, bukan sadar dengan penuh keyakinan. Kalau cinta itu sebuah keyakinan bukan tindakan, mungkin aku sudah tidak ada di dunia ini. Lagipula, sejak aku SMP dulu, aku selalu mencari penjelasan mengenai arti cinta. Namun apa yang aku dapatkan bukanlah sebuah kata-kata. Namun pemahaman tentang bagaimana cara cinta bekerja. Dirasakan. Dan diterima apa adanya. Semakin sering kita menolak cinta, akan semakin sakit hati kita. Setidaknya itulah yang aku tau dari cinta”.

Lalu bagaimana kamu tau, kalau cinta itu nyata? Aku menjawab dengan singkat pertanyaan Eca, “Buktinya adalah kamu masih hidup sampai saat ini. Sederhananya adalah udahra yang kita hirup secara gratis di setiap detiknya. Kalau saja pemilik udara ini tidak cinta kepada kita, dia akan membarikan biaya untuk setiap udaranya. Dan bayangkan jika kamu disuruh untuk membayarnya. Mau kamu bayar pakai apa?”

Eca diam tidak membalas. Dia kembali bertanya, “Kenapa harus dengan Ka?”

Memang benar, pertanyaan itu juga sama aku tanyakan kepada diriku sendiri. Hingga saat ini, aku belum menemukan jawabannya. Tidak menemukan, bukan berarti tidak ada jawabannya. Aku hanya menunggu untuk bertemu dengan jawabannya. Katanya, semua hal yang kita pertanyakan akan menemukan jawabannya. Ini hanya masalah waktu saja. Apakah aku barus menambah batas sabarku, atau justru aku hatus mencari wanita lain pengganti Ka? Aku tidak pernah bisa mengatur perasaanku terhadap wanita. Terkhususnya kepada wanita yang tiba-tiba datang lalu menanamkan benih cinta kepada diriku.

Takut? Tidak, aku tidak takut. Aku hanya sedang dalam proses untuk sembuh dari trauma. Apa kamu tau, Ca.. bahwa trauma setelah patah hati itu sangat sulit untuk menemukan sembuhnya? Sembat aku bertanya kepada diriku sendiri tentang hal yang aku rasakan saat ini. Apakah Rima juga merasakan hal yang serupa? Sakit, kecewa, dan kebingungan di saat yang sama? Aku masih tidak tau jawabannya. Kenapa? Karena mungkin belum waktunya saja untuk aku mengetahuinya.

Ayolah, semua punya waktunya masing-masing. Sekarang mungkin menjadi waktuku untuk merindukan, Ka. Tapi kenyataan setelahnya tidak ada yang tau. Bisa jadi Ka yang nanti akan merindukanku. Atau justru mungkin ini sebuah pintu awal dimana aku dan Ka akan berjumpa lalu melepas obrolan sambil tertawa di sebuah kesempatan. Aku masih larut dalam kebingunganku. Seperti sungai yang mengalir deras dari dalam namun tenang saat dilihat dari permukaan.

Ada pesan dari NARA, Ka.. katanya, “kamu kemana aja?”

Tulisan tentang NARA yang aku janjikan kepada Ka masih belum selesai. Masih berhenti di tengah perjalanan. Aku sempat mengirim draftnya kepada Ka, tapi dia belum memberikan kabar kembali. Ka hanya bilang bahwa dia akan membalas ceritanya. Namun dia harus menunggu mood-nya ada. Yaa.. semua hal yang terjadi saat ini membutuhkan mood-nya masing-masing. Menunggu selera yang mereka sendiri tidak tau kapan waktunya. Sama seperti rindu ku kepada Ka yang harus menunggu waktu untuk sebuah temu.

Komentar

Postingan Populer