KALAHIN DIRI KAMU

Masih banyak keresahan yang aku alami saat ini. Tentang mimpiku yang ingin menjadi seorang penulis buku. Punya pasangan hidup. Lalu bisa tanggung jawab sama hal yang udah dimulai. Tapi entah kenapa, aku punya rasa malas yang besar.. yang harus dilawan lebih dulu buat bisa keluar ke arah yang lebih baik. Terjebak dalam rasa lelah yang aku sendiri tidak tau akan berakhir kapan. Semuanya terlalu rumit untuk dijelaskan. Cuma ada rasa malas yang sedang bertumbuh menjadi lebih besar di setiap harinya.

Memang, umurku saat ini masih dua puluh empat tahun. Umur yang masih muda, dimana umur yang mempersilahkan seseorang untuk meraih kegagalan dalam hidup. Tapi aku juga sadar bahwa untuk berhasil mencapai apa yang kita inginkan harus dimulai dari diri sendiri. Mengalahkan hal buruk yang ada di dalam diri sendiri. Hal yang lebih susah daripada mendaki gunung himalaya. Terkurung di sebuah tempat yang gelap sendirian untuk waktu yang lama, juga membuatku memunculkan rasa takut yang berlebihan. Setidaknya hingga saat ini. Dan untuk keluar dari hal itu, aku masih berusaha hingga saat ini. Ada rantai yang mengikat tubuhku. Rantai kemalasan. Yang berbahaya. Yang menakutkan.

Kemarin malam, Eca mengobrol denganku, “Lagi banyak beban pikiran, ya?”

“Siapa? Kamu?”

“Ya kamu lah.. kan aku tanya ke kamu..”

Aku sempat bingung harus membalas Eca dengan berkata apa.. diam sejenak.. berpikir.. lalu bilang, “Namanya juga hidup Ca, punya skenarionya masing-masing”.

“Kamu tuh selalu gini ya.. nggak pernah berubah.. semuanya dipendem sendiri..”, ucap Eca.

“Ya mau gimana lagi, aku udah capek sama semuanya. Kalau aku cerita ke orang lain, orang lain juga punya masalahnya sendiri. Lagian, meskipun aku bisa cerita ke orang lain, mereka belum tentu bisa bantu selesaikan”.

“Emang udah pernah coba cerita ke orang lain?”

“Udah pernah, tapi aku nggak pernah dapet solusinya. Nggak pernah dapet jalan keluarnya. Justru yang ada aku dapet masalah baru. Harus dengerin cerita mereka, yang malah ngebandingin masalahku sama mereka. Bahkan hal terburuknya adalah kalau aku cerita ke orang yang salah”.

“Gimana itu? Pasti malah di cap, kalau kita yang salah atau bodoh?”

“Iya.. emang apa salahnya jadi bodoh sih, Ca? Kita nggak selama bisa belajar semua hal sendirian kan? Aku benci banget sama orang yang mereka sendiri nggak tau kenyataannya tapi tiba--tiba jadi sok bijak waktu kita cerita soal masalah kita. Tiba-tiba aja gitu jadi wise people. Ngeselin banget”.

“Nggak apa-apa Gala.. kamu bisa cerita ke aku, senyaman kamu”.

“Bahaya banget kamu, Ca.. semudah itu ngomong kayak gitu..”.

“Kok gitu sih, ngomongnya”.

“Bagi orang yang udah trauma sama hal kayak aku.. jadi sulit lagi percaya buat cerita masalah hidup ke orang lain, Ca. Contohnya waktu aku cerita soal Little Princess ke kamu. Apa tanggapan kamu? Kamu bilang kalau aku bodoh kan?”

“Kamu ke singgung sama hal itu?”

“Dalem hati, Ca. Meski aku waktu itu aku ketawa sama jawaban kamu. Tapi di dalam hatiku, aku kesinggung banget. Aku mau marah, tapi aku nggak tau caranya. Sampai sekarang, aku cuma bisa pendem semuanya sendirian. Capek, nggak tau harus gimana. Mau jalan, juga bingung arah tujuannya. Buat hidup sederhana kayak apa yang kamu bilang, harus jadi diri sendiri juga nggak pernah bisa. Kenapa? Aku juga nggak tau. Terus kalau mau ngeluh, aku juga nggak tau harus ngeluh ke siapa. Jujur sama diri sendiri juga gagal. Buat bilang ke dunia tentang mau aku, juga nggak ada perduli”.

“...”

“Kenapa diem, Ca. Bingung kan? Kamu selalu gitu, Ca. Padahal kamu yang mulai obrolannya, tapi sekarang diem seribu bahasa. Habis kan, topiknya? Atau kamu merasa bersalah?”

“Kenapa sih, Gala? Kamu tuh kenapa? Sekarang nyalahin aku?”

“Aku nggak nyalahin kamu, Ca. Aku cuma mau turutin apa mau kamu.. kamu kan, yang tadi bilang kalau aku boleh cerita ke kamu.. tapi, coba lihat sekarang.. aku baru mulai sama cerita keluh kesahku soal kamu.. di depan kamu.. coba jujur sama kamu tentang apa yang aku rasain..”

“Tapi kan kamu nggak seharusnya bilang kayak gitu?”

“Aku cuma lakuin apa mau kamu, Ca.. jujur sama diri sendiri.. itu pun soal kamu.. bukan orang lain..”

“Jahat banget kamu, Gala..”

“Memang, Ca. Aku jahat, terus mau kamu apa sekarang?”

“...”

“Diem lagi? Hahaha.. ternyata kamu juga sama, Ca.. punya kebingungan yang sama kayak aku.. kamu lucu.. atau memang dunia yang sedang bercanda? Atau mungkin justru aku yang lucu, sampai aku ketawa sama orang lain yang ternyata punya masalah yang sama.. jadi punya temen, nggak sendirian.. seru juga.. menarik..”

Air mata, Eca tiba-tiba jatuh. Pipinya basah. Dia mencoba kembali malanjutkan pembicaraan kami berdua, “Aku juga nggak tau, Gala.. I’m just doing my best. Kamu masih inget, kenapa aku bilang kalau aku cuma ingin hidup sederhana di rumah yang sederhana?”

“Inget. Waktu kita bicara soal mimpi kita masing-masing”.

“Mau tau nggak, kenapa aku pilih jawaban itu?”

“Kenapa?”

“Karena buat bisa wujudin mimpi sederhana itu. Jalannya jauh lebih sulit. Memang, hidup itu sederhana. Tapi untuk bisa jadi sederhana itu susah. Gitu juga, jujur sama diri sendiri itu sederhana. Tapi untuk bisa jujur itu susah. Ada pertarungan yang harus dimenangkan”.

“Aku masih nggak paham, Ca. Maksud kamu apa?”

“Ini faktanya, Gala.. kamu memang bodoh.. belajarlah.. aku bilang kamu bodoh karena kamu memang nggak tau, kan?”

“Iya.. tapi..”

“Ini nih, masalah kamu.. kamu kebanyakan tapi.. nggak mau usaha lebih keras lagi.. kamu pakai kata ‘tapi’ itu cuma untuk cari alasan aja. Kamu nggak mau belajar mendengarkan.. nggak mau belajar mengerti.. kamu selalu nuntut buat hal-hal yang kamu sendiri nggak pernah mau lakuin. Itu namanya apa? Kalau bukan egois.”

“...”

“Sekarang, kamu yang diem kan? Kamu kenapa diem? Ngerasa salah? Atau ngerasa kalau semua yang aku bilang itu bener dan kamu baru sadar? Sekarang siapa yang lucu? Kamu atau aku? Atau mungkin kita berdua yang seharusnya ketawa karena punya kesamaan yang lucu? Faktanya, kita sama-sama nggak ketawa kan? Silahkan, Gala.. terserah kamu mau ketawa atau gimana.. aku cuma mau kamu sadar.. jadi orang yang jauh lebih baik dari yang kemarin, nggak sesederhana itu.. nggak semua hal yang kamu mau bisa kamu dapetin dalam waktu singkat.. belajar, Gala.. belajar.. jangan egois, bahkan sombong.. I know, you are not. Aku percaya sama kamu.. aku temenin perjalanan kamu.. pelan-pelan”.

Angin yang berhembus tidak sekencang hari sebelumnya. Malam yang dihiasi taburan bintang di langit lepas, mengundang renunganku. Eca membenarkan semua ucapanku. Dia memberiku pandangan yang sebelumnya aku tidak sadari tentang diriku sendiri. Kami berdua saling diam sambil menatap ke arah langit. Untuk sementara, aku harus berusaha mengalahkan diriku yang dulu. Yang diliputi oleh kesedihan, kebingungan, dan ketidaktahuan. Belajar menerima keadaan yang ada dalam diri. Mengalahkan diriku sendiri.

“Ca, kira-kira sampai kapan ya.. semua hal ini bisa selesai?” , aku bertanya kepada Eca.

“Nggak tau.. sampai mati, mungkin..”, Jawab Eca.

“Gitu ya..” aku diam lalu melanjutkan, “Aku minta maaf, Ca..”

“Gak apa-apa Gala.. aku juga minta maaf..”

“Kamu nggak marah?”

“Jujur.. aku nggak pernah marah sama kamu, Gala.. aku tau kok.. kamu cuma butuh temen buat ngobrol.. buat jadi teman diskusi.. semua orang butuh itu nggak sih?”, ucap Eca.

“Nggak tau, Ca.. aku udah lama kehilangan temen deket.. sekarang juga lagi bimbang, kira-kira.. nanti kamu bakalan pergi juga atau ngga ya? Aku takut sendirian..”

Eca menghela nafas panjang lalu berkata, “Semua orang pasti bakal sendirian, Gala..”

“Berarti kamu nanti bakalan pergi dong?”

“Ehmm..” Eca berpikir sejenak. “Kalau pergi.. mungkin, ke siapa yang lebih dulu buat mati sih.. aku atau kamu duluan..”

“Kok kamu mikirnya sampe sana?”

“Ya.. karena itu fakta yang pasti terjadi sama semua orang, Gala.. termasuk aku dan kamu.. tinggal tunggu waktunya aja..”

“Serem kamu, Ca.. bahas gituan..”

“Makanya itu.. ayo kita berjuang sama-sama buat jadi yang lebih baik.. seenggaknya buat diri sendiri..”

Aku masih menatap bintang di langit. Mereka bertaburan bebas tanpa ada masalah yang harus diterima. Lepas. Terang. Indah. Sempurna. Tapi mungkin itu karena aku melihatnya dari jauh. Aku pernah membaca, bahwa sebenarnya bintang itu mengeluarkan cahayanya sendiri. Berbeda dengan bulan yang membutuhkan bantuan dari matahari untuk bisa bersinar. Dan bintang, juga merupakan sebuah benda langit yang sama seperti bumi. Memiliki inti kehidupan yang terus berputar entah sampai kapan. Kalau intinya mati, bintang yang bertebaran di angkasa sekarang juga akan ikut hilang bersama cahayanya.

“Ca, kira-kira nih, kenapa bintang yang sekarang kita lihat indah dari bumi bisa bersinar dengan terang?”

“Yaaa.. mungkin aja, mereka udah tau gimana caranya buat jadi terang”.

“Maksudnya?”, jawabku dengan bingung.

“Sederhananya, bintang bisa bersinar terang karena bintang tau caranya buat terang itu sendiri, Gala.. Sama kayak kamu..”.

“Sama kayak aku gimana?”

“Kalau kamu punya mimpi buat jadi penulis.. kamu harus tau caranya nulis.. kalahin dulu rasa dalam diri kamu.. supaya kamu bisa kuasain diri kamu sendiri,” Eca menjelaskan, sambil menatap langit luas penuh bintang. Air mata yang tadi mengalir jatuh, berubah menjadi mata berbinar penuh harap. Eca meyakinkanku untuk tetap menulis. Mendukungku untuk menjadi seorang penulis hebat yang jujur kepada diri sendiri. Yang mampu lepas, terbang dengan bebas, bereksplorasi dengan apa yang aku mau. Dan aku berharap, semoga saja menjadi nyata. Suatu saat, suatu hari nanti.

Komentar

Postingan Populer