KISAH ASMARA
19.08 : “Ca, kenapa ya, aku nggak bisa jujur sama diriku sendiri?”
19.10 : “Lah, kok gitu?”
19.12 : “Nggak tau, Ca. Kayak susah aja cerita ke orang lain?”
19.13 : “Bukannya kamu suka cerita ya?”
19.15 : “Nulis, Ca. Aku lebih suka nulis”.
19.18 : “Bukannya sama aja, ya?”
19.19 : “Beda dong”.
19.20 : “Yaudah kalau gitu. Tulis aja, apa yang kamu rasain. Kelar, kan masalahnya?”
Sudah lama, empat tahun yang lalu kalau tidak salah. Aku tidak lagi dekat dengan Rima. Lebih tepatnya, aku yang memilih untuk pergi tanpa pamit ke dia. Sebenarnya nggak enak juga sih, pergi gitu aja, tiba-tiba ngilang tanpa kabar. Ada rasa bersalahnya. Tapi ini udah jadi keputusanku. aku cuma ingin Rima dapet yang lebih baik buat dia. Bukan cowok kayak aku yang masih belum selesai sama dirinya sendiri. Rima itu baik, dia juga nurut sama semua kata-kata aku. Kalau aku udah marah, dia pasti minta maaf. Kalau dia lagi ngambek, dia cuma diem aja. Nggak banyak omong juga. Ibuku cocok sih sama dia. Kata ibu aku, “Kenapa nggak balikan lagi sama Rima? Ibu udah cocok padahal sama dia. Manis kalau senyum”.
Waktu denger ibuku muji Rima, dalem hatiku cuma bilang, “Iya bu.. maaf, tapi anakmu ini yang kurang cocok sama dia”.
Pertemuan pertamaku dengan Rima adalah di tahun terakhir masa sekolah kejuruan. Waktu itu ada acara persiapan buat lomba miniatur desain banguan. Niel dan Dino ikut diantara beberapa tim yang menjadi wakil sekolah. Aku yang hendak menemui Niel dan Dino di aula sekolah, bertemu dengan Rima tanpa sengaja. Dia di sana juga punya niat serupa. Teman satu kelasnya juga jadi perwakilan untuk sekolah. Percakapan singkat antara aku dengan Rima terjadi tanpa rencana. Mungkin semesta sedang menjalankan skenarionya saat itu.
Rima yang ramah, membutku nyaman untuk berbagi cerita. Kami mengobrol cukup intens, meski belum saling bertukar nomor ponsel satu sama lain. Di lain kesempatan, Rima mengajakku untuk berkenalan. Setelah sekian percakapan, aku baru bisa mendapatkan nomor ponselnya satu bulan setelah pertemuan pertama kami berdua.
Setelah rutin saling memberi kabar melalui pesan singkat, aku dan Rima menjadi semakin dekat. Pertemuan demi pertemuan kami lakukan. Di kantin sekolah waktu jam istirahat. Di luar sekolah saat hari libur. Dan sesekali aku bermain mengunjungi rumahnya. Bertemu dengan ayah ibunya. Rima adalah anak nomor dua di keluarganya. Kakak Rima bekerja sebagai guru, lalu ke dua adiknya adalah laki-laki.
Masih aku ingat, saat beberapa kali Rima main ke rumahku, ibuku selalu menyambut dia dengan hangat. Tidak jarang juga, mereka berdua berbagi tawa. Entah obrolan apa yang sedang mereka bicarakan, tapi aku sempat senang karena hal itu. Namun sayangnya, masa-masa itu telah berlalu ketika aku masuk ke bangku kuliah. Pertemuan kami jadi semakin jarang terjadi. Rima mengundur kuliahnya satu tahun. Dia memilih untuk bekerja terlebih dahulu. Berbeda denganku yang langsung masuk kuliah di tahun yang sama, saat aku lulus dari bangku sekolah menengah kejuruan.
Aku diterima kuliah di salah satu kampus terbaik di Jawa Timur. Jurusan yang aku ambil adalah salah satu jurusan teknik. Melanjutkan dari jenjang sebelumnya. Di waktu yang sama, Rima juga diterima kerja di salah satu agen perjalanan. Di sana, dia bekerja sebagai admin. Salah satu tugasnya adalah mencatat daftar perjalanan untuk wisatawan. Perjalanan yang disediakan di tempat Rima bekerja adalah rute area Jawa Timur saja. “Masih lingkup kecil sih”.
Di bulan pertama Rima bekerja, aku masih bisa menemuinya dan menghabiskan waktu bersama dia. Setidaknya makan malam di restoran sama-sama sebanyak tiga kali dalam satu minggu. Obrolan kami berdua mulai berkembang, membicarakan soal keluh kesah Rima saat bekerja atau membahas kuliahku.
“Gimana kerja kamu, hari ini?”, tanyaku kepada Rima.
“Lumayan. Enggak terlalu sibuk juga”, jawab Rima.
“Syukurlah kalau begitu”.
“Kalau kamu.. gimana kuliahnya?”
“Aman kok”.
Di bulan berikutnya pertemuan kami berdua semakin jarang terjadi karena jadwal yang semakin sibuk. Aku mulai masuk mengikuti kegiatan kemahasiswaan, dan Rima semakin sibuk dengan pekerjaannya. Waktu mulai memisahkan kami secara perlahan-lahan. Topik obrolan juga semakin berbeda. Kami berdua sama-sama bingung harus bercerita soal apa. Hingga pada akhirnya, kami berdua lebih sering diam. Pesan singkat juga jarang. Lebih banyak berbagi stiker lucu daripada ngobrolnya.
Seiring berjalannya waktu. Aku berpikiran kalau mungkin akan lebih baik jika kami berdua berpisah. Dan letak kesalahanku adalah aku tidak memberinya kabar. Hilang secara tiba-tiba. Beberapa pesan masuk dari Rima juga tidak pernah aku balas. Sampai pada satu titik dimana, aku kembali memberinya kabar.
“Rima..”
“Iya..”
“Sedang sibuk?”
“Nggak juga, kenapa memangnya?”
“Nggak apa-apa, cuma mau nyapa aja..”
Berawal dari obrolan singkat yang aku mulai melalui pesan singkat itu. Rima membalas pesanku cepat. Sepertinya dia tidak meninggalkan ruang pesannya. Dari beberapa pesan itu, Rima lekas mengajakku untuk bertemu kembali. Tapi untuk kali ini, aku menolaknya. Aku hanya bingung saat nanti dia bertanya kepadaku, “Kamu kemana aja selama ini?”. Dalam pikiranku berkata, “Aku nggak tau”.
20.15 : “Udah sampe mana tulisannya?”
20.16 : “Masih setengah, Ca”.
20.19 : “Masih mau lanjut nulis lagi?”
20.20 : “Nggak tau”.
20.22 : “Kenapa? Bingung lagi?”
20.23 : “Enggak sih… cuma capek aja”.
20.24 : “Gala.. kalau kamu mau jadi penulis hebat. Harus kuat sama resikonya. Sekarang lagi ngapain?”.
20.25 : “Ngobrol sama kamu.. hehehe..”
20.27 : “Dih.. Gombal banget..”
20.30 : “Iya, maap. Lagi istirahat. Sambil ngerokok”.
20.31 : “Ngerokok mulu.. kurang-kurangin tuh asep.. nggak baik buat kesehatan”.
20.32 : “Hehehe.. iyaaa..”
20.34 : “Yaudah deh kalau gitu. Aku masih mau balik nih”.
20.35 : “Oke, ati-ati..”
20.37 : “Iya.. yaudah.. nanti lanjut lagi ngobrolnya waktu aku udah di rumah”.
Komentar