LITTLE PRINCESS

Di jam makan siang. Aku duduk sendirian. Tidak sepi, hanya tidak ada teman ngobrol. Secangkir kopi susu sudah habis aku minum. Bosanpun mulai datang menghampiri. Kembali, dunia pikiran memunculkan sebuah pertanyaan, “Kenapa manusia bisa merasakan bosan?”

12.15 : “Ca, kamu pernah ngerasain bosen nggak?”

12.17 : “Pasti pernah lah”.

12.17 : “Kira-kira, apa yang kamu lakuin waktu bosen?”

12.18 : “Kenapa kamu tanya gitu, tumben banget. Lagi bosen ya, makanya kamu ngajak aku ngobrol?”

12.18 : “Iya, tanya aja. Aku kepikiran buat ngajak kamu diskusi nih”.

12.18 : “Halah, alibi kamu masih sama terus. Bilang aja kalau kamu butuh temen ngobrol. Bener kan?”

12.20 : “Bukannya semua orang selalu butuh temen buat ngobrol ya?”

12.20 : “Orang ngobrol itu sebagai tanda kalau dia lagi kesepian”.

12.21 : “Kok gitu?”

12.22 : “Iya, kalau kamu nggak kesepian. Kamu nggak bakal ngajak ngobrol aku”.

12.22 : “Emang harus ngerasain kesepian dulu, ya? Buat bisa ngajak kamu ngobrol?”

12.23 : “Enggak juga sih. Alasan lainnya kenapa orang itu ngajak ngobrol karena ada maksud tertentu”.

12.23 : “Iya. Aku punya maksud tertentu yang belum kamu jawab dari tadi”.

12.24 : “Dih, kok gitu.. Kebiasaan deh.. Selalu mau menangnya sendiri. Nggak pernah mau ngalah. Pantes kamu jomblo nya lama”.

12.25 : “Ini kenapa jadi bahas status juga sih? Kan bukan itu pertanyaannya tadi”.

12.25 : “Hehehe. Iya, iya. Maaf”.

Sudah hampir satu tahun berlalu, aku tidak memiliki lagi teman dekat untuk diajak mengobrol. Sebelum dengan “Ka”, aku sempat bertemu dengan seorang perempuan. Aku biasa memanggilnya, “Little Princess”. Nama itu ada, karena dia punya sifat lucu seperti tuan putri kecil. Menggemaskan. Mudah sekali tertawa. Cantik. Manis kalau tersenyum. Serta postur tubuhnya yang kecil dan ideal. Sebaliknya, dia lebih suka memanggilku dengan sebutan, “Mas”.

Pertemuan pertamaku dengan Si Putri Kecil dimulai sejak waktu kuliah. Dia adalah salah satu adik tingkatku. Kami berdua kenal melalui kegiatan organisasi kampus. Saat itu, aku yang menjabat menjadi salah satu kepala divisi bidang mempunyai tugas untuk dapat mengayomi seluruh anggota. Termasuk dia. Si Putri Kecil itu juga salah satu anggota dalam divisi yang aku pimpin. Obrolan pertamaku dengan dia hanya seputar kegiatan organisasi saja. Tidak lebih. Berbagi ilmu selayaknya kakak terhadap adiknya.

Dalam organisasi yang aku pimpin, senioritas dan junioritas bukanlah sebuah ajang untuk saling merendahkan. Aku lebih suka memanggilnya dengan sistem kekeluargaan dan profesionalitas. Sejujurnya, aku paham kalau sistem itu adalah sistem yang menjebak saat aku tau faktanya di dunia kerja. Dasar, menyebalkan.

Diskusiku dengan Si Putri Kecil cukup sering. Meski, hanya melalui pesan singgat dengan sesekali melakukan panggilan suara. Iya, obrolan kami hanya melalui sebuah perantara ponsel saja. Kenapa? karena waktu itu Covid sedang menyerang dunia. Si Putri Kecil itu berasal dari tempat yang berbeda denganku. Kota yang jauh. Meski tidak sejauh jarak kami sekarang. Dulu, saat kami masih sering berbagi topik pembicaraan, selalu ada sudut pandang yang kami berdua dapatkan. Harus aku akui bahwa, Si Putri Kecil itu juga memiliki mimpi. Dia tidak segan untuk berbagi cerita mengenai mimpinya.

For Information, aku dengan Eca waktu itu belum saling mengenal. Aku bertemu dengan Eca beberapa bulan setelah Si Putri Kecil meninggalkanku tanpa berpamitan. Salah satu faktor yang membuat diriku yang sekarang memiliki sebuah trauma. Aku lebih suka menyebutnya pengalaman berharga. Pelajaran hidup yang nyata dan sempurna.

Setelah satu tahun menjabat sebagai kepala divisi, aku akhirnya purna tugas di dalam organisasi. Saat itu, penerus yang menggantikan jabatanku adalah Si Putri Kecil. Dia terpilih bukan karena suara yang aku berikan. Melainkan suara dari sebagian besar anggota yang ada di sana. Selain dia punya pribadi yang menarik, dia juga punya otak yang pintar. Karena faktanya adalah dia kuliah dengan beasiswa.

Dalam kepengurusannya saat dia menjadi kepala divisi, obrolan kami menjadi lebih panjang. Bukan lagi mengobrol tentang organisasi saja, kami berdua mulai membuka diri masing. Latar belakang yang jarang diketahui oleh orang lain tentang dia adalah, ternyata dia juga pernah menjadi siswa berprestasi dalam bidang akademik Bahasa Inggris. Aku yang saat itu baru mengetahui hal itu, merasa sangat senang. Harapan untuk bisa melakukan obrolan menggunakan Bahasa Inggris akhirnya menemukan lawan bicaranya.

Sebelum bertemu dengan Si Putri Kecil yang cantik dan pintar, aku selalu punya harapan untuk bisa ngobrol dengan orang lain menggunakan Bahasa Inggris. Namun banyak dari temanku yang berkata bahwa aku tidak pantas untuk hal itu. Kata mereka, “Sok yes kamu, Gala.. kamu nggak pantas buat ngobrol pakai Bahasa Inggris”. Namun, semua ketidakmungkinan yang temanku dulu katakan kepadaku, berubah menjadi hal yang sangat mungkin setelah semesta mempertemukanku dengan Si Putri Kecil.

Hey Little Princess, where are you now?”, kirim pesan singkatku kepadanya.

Dia membalas, “In my friends boarding house, Mas, why?

What are you doing there?

Just listening the music with my friend

And sing a song together?

No, I’m not.. we’re just talking and playing the game, xixixi”.

Percakapan kecil yang menyenangkan perlahan-lahan berubah. Karena terlalu sering kami mengobrol, aku jadi terbawa suasana. Aku mulai jatuh cinta dengan dia. Seperti kata orang dulu, “Tresno teko soko kulino”, yang artinya “Cinta datang karena terbiasa”. Tapi kalau kata Eca, “Nggak Gala, Kamu cuma lagi bodoh aja..”

Komentar

Postingan Populer