MENANGISLAH, AKU MASIH MENDENGARKAN
Ada pagi yang seharusnya menjadi titik awal dari segala rencana, tapi justru berubah menjadi jeda yang tak pernah disambung. Seperti kertas kerja yang terlipat sebelum sempat digambar, atau denah yang sobek karena tangan yang terlalu lelah menunggu. Di ruang rapat yang sunyinya lebih dalam dari ruang isolasi, aku pernah duduk bersamamu. Menatap garis-garis masa depan yang kutarik dengan penuh keyakinan, tanpa tahu bahwa tinta dari rencana itu akan kau lunturkan dengan sebuah kepergian.
Kau datang sebagai wacana yang paling kupercaya. Membawa senyum, membawa suara, membawa semua yang kupikir bisa kupegang. Di atas meja yang masih menyisakan sidik jari kita, aku letakkan maket kecil tentang rumah yang belum selesai kita sepakati. Tapi kau justru membuka pintu bagi yang lain. Satu per satu, mereka datang membawa proposal, janji, angka-angka manis yang mungkin tak pernah kupelajari. Dan aku, yang menyiapkan segalanya dengan rasa, tiba-tiba menjadi orang asing di ruangan yang kusebut dengan “kita”.
Aku tahu aku kalah sejak kau diam. Bukan karena suaramu berhenti, tapi karena kau tak lagi mendengarkan. Karena sejak itu, setiap kata yang kutulis hanya bergema dalam kepalaku sendiri. Setiap rencana yang kususun hanya tinggal draf yang tak pernah kau baca.
Malam itu, aku tetap datang ke ruang yang sama. Meja panjang, kursi empuk, dinding putih yang pernah kau tunjuk sambil berkata, “Nanti kita pajang foto nya di sana, ya.” Namun kini aku duduk sendiri, membaca lagi rencana yang tak jadi.
Aku menyebut namamu bukan dengan suara, tapi dengan napas. Seperti doa yang terlalu lirih untuk mencapai langit. Dan di ujung ruang itu, aku masih melihat bayanganmu. Duduk, tersenyum, seperti tak pernah memilih pergi.
Kau pernah bilang bahwa, aku favoritmu. Kau juga pernah tertawa pada ceritaku. Katamu, suaraku bisa menenangkan. Tapi pagi itu, semua berubah. Namaku tak lagi disebut dalam pengumuman. Tak lagi ditulis dalam catatan. Tak lagi dilirik dalam keraguan. Kau memilih selain aku, tanpa memberi alasan, tanpa memberi waktu untuk mengerti.
Aku kalah. Bukan karena aku tak cukup baik. Tapi karena aku terlalu percaya pada sesuatu yang tak pernah kau ikat. Aku kalah dalam perlombaan yang tak pernah kuminta. Dalam proyek yang kupikir akan kita kerjakan bersama-sama. Aku kalah.
Sejak saat itu, aku menjadi pekerja paling sunyi di proyek ini. Duduk di sudut ruang yang pernah kita isi dengan harapan. Membayangkan kembali setiap percakapan. Mengulang tawa yang pernah kau pinjam dariku. Dan di setiap gema langkahmu yang tinggal kenangan, aku masih berdiri. Menyambutmu dengan pelan: menangislah, aku masih mendengarkan.
Bahkan jika air matamu tak lagi untukku. Bahkan jika tangismu tak pernah sampai ke telingaku. Aku tetap di sini, dengan satu telinga yang tertuju pada kenangan, dan satu hati yang belum selesai menyebut namamu.
Karena yang paling menyakitkan bukanlah kekalahan. Tapi ketika seseorang berhenti memperjuangkan apa yang telah kita mulai bersama-sama. Ketika tangan yang dulu merangkul, menjadi tangan yang menutup pintu. Dan aku, yang berdiri dengan maket kecil di tangan, tak punya tempat untuk pulang.
Kau tak lagi hadir. Tapi menangislah. Aku masih di sini, meski dunia tak lagi menyebut namaku dalam hidupmu. Karena tak semua kehadiran butuh tatap. Ada yang cukup menjadi gema, menjadi lantunan senyap yang bergema dari balik dinding waktu. Dan jika kau masih menyimpan setitik ragu, izinkan aku berkata dengan seluruh suara yang masih tersisa dalam dadaku: aku tak pernah benar-benar pergi dari ruang tempat kau pernah percaya padaku.
Di luar ruang rapat itu, proyek terus berjalan. Waktu bergulir, pekerja datang dan pergi, lantai-lantai bertambah tinggi. Tapi bagiku, tak ada yang lebih berat dari melihat tiang pancang lain berdiri bukan untuk kita. Aku mencatat jadwal, mengecek struktur, membaca laporan harian. Tapi setiap angka adalah luka, setiap grafik adalah perpisahan.
Kadang aku berpura-pura sibuk hanya agar tak perlu menjawab pertanyaan tentangmu. Tentang bagaimana mungkin seseorang bisa sedekat itu, lalu menjadi asing secepat itu. Tentang bagaimana kau bisa mendengar segala keresahanku, lalu memilih untuk tak lagi menoleh saat aku memanggil dari belakang.
Sore itu, aku berdiri di depan elevator yang tak bergerak. Melihat bayanganku sendiri di pintu logam, aku menyadari: bahkan pantulan tak lagi jujur ketika hati mulai ragu. Aku merindukanmu bukan sebagai kekasih, tapi sebagai saksi. Seseorang yang tahu bahwa aku pernah mencoba sekeras itu.
Dan kau mungkin tak tahu, tapi aku pernah menulis surat yang tak jadi kukirim. Surat yang berisi pertanyaan-pertanyaan sederhana: Apa kabar? Apakah kau bahagia? Pernahkah kau mengingat sore ketika kita berdiri di depan maket dan kau berkata, “Seandainya rumah ini beneran jadi tempat tinggal untuk kita”?
Surat itu masih kusimpan. Dalam laci yang sama dengan semua catatan proyek yang tak selesai. Dan entah kenapa, aku tak pernah punya keberanian untuk membuangnya. Mungkin karena aku belum siap kehilangan satu-satunya bukti bahwa pernah ada hal yang bernama “kita”.
Malam-malam berlalu, dan aku masih bangun di jam yang sama, jam ketika kau biasanya mengirim sebuah pesan ringan yang berisi pertanyaan: “Lagi apa? Sudah makan?” Kini hanya layar kosong. Tapi aku tetap membaca ulang pesan-pesan lama. Seolah huruf-huruf itu bisa mengembalikanmu sebentar.
Kau mungkin telah memilih jalanmu sendiri. Mungkin sekarang ada suara lain yang lebih sering kau dengar, tawa lain yang mengisi hari-harimu. Tapi jika suatu hari, dunia terlalu berat dan kau tak tahu ke mana harus kembali, kau boleh menangis.
Menangislah. Karena meski aku bukan lagi bagian dari harimu, aku masih menjaga malam dengan doa. Dan dalam doa itu, aku menyebut namamu bukan sebagai kehilangan, melainkan sebagai pelajaran.
Bahwa mencintai adalah membiarkan seseorang memilih, meski bukan kita. Bahwa menjadi pendengar bukan selalu berarti didengar kembali. Bahwa berdiri sendiri di tengah ruang kosong kadang lebih jujur dari janji yang diucapkan berdua.
Aku di sini. Tidak untuk dimiliki. Tapi untuk mengingat. Untuk menyimpan satu ruang kecil dalam hati ini yang tetap terbuka jika suatu hari kau ingin pulang. Bukan untuk tinggal. Tapi untuk tahu bahwa pernah ada satu cinta yang tak menuntut apa-apa.
Cukup dengar ini sekali saja: Menangislah, aku masih mendengarkan. Dan akan selalu begitu, bahkan saat suaramu telah hilang ditelan waktu. Karena cinta, kadang tak berwujud rumah. Tak berupa pintu yang bisa dibuka, atau jendela yang bisa dibersihkan dari debu masa lalu. Ia hanya berdiam dalam ruang kecil yang tak diarsiteki siapa-siapa, ruang yang tak memiliki denah, tak punya tiang penyangga, tapi cukup kokoh untuk menampung perasaan yang tak sempat disampaikan.
Aku belajar bahwa tak semua proyek bisa diselesaikan. Tak semua rencana bisa disahkan. Dan tak semua hati bisa dibangun berdampingan. Tapi jika ada satu hal yang paling kupahami dari semua reruntuhan ini, itu adalah: mencintai tak pernah benar-benar selesai.
Kau mungkin sudah berpindah halaman. Menulis bab baru. Membangun dunia baru. Tapi setiap kali hujan turun dan udara membawa aroma semen basah, aku masih melihatmu. Dalam kilas bayang yang tak lagi utuh. Dalam detak yang tidak lagi keras, tapi tetap terasa.
Kadang, aku menoleh pada kursi kosong di ruang itu. Kursi tempat kau dulu duduk, menyentuh lengan bajuku, mengangguk pelan seolah percaya pada semua rancangan yang kubuat. Tak ada siapa pun di sana sekarang. Tapi aku masih mendengarkan.
Dan jika suatu saat nanti kau duduk dalam diam, merasa tak ada yang bisa memahami segala tangis yang kau tahan, kau tak perlu mencari aku dalam peta atau direktori. Cukup pejamkan mata, dan kau akan tahu: seseorang pernah menunggumu tanpa suara, dan ia belum beranjak.
Menangislah. Aku masih mendengarkan. Bahkan ketika dunia terlalu bising untuk menyadari sunyi yang kau simpan. Bahkan ketika semua telah selesai.
Aku masih di sini. Dalam ruang yang pernah kita rancang bersama. Dalam rindu yang tak kau jawab, tapi tak juga kupadamkan. Dan dalam cinta yang memilih bertahan, bukan karena bodoh, tapi karena setia pada rasa yang lahir tanpa syarat.
Selamat berjalan.
Jika kau bahagia, jangan menoleh. Tapi jika suatu saat lelah, dan ingin menangis lagi, kau tahu ke mana harus berpulang. Aku tak pernah menutup pintu. Tak pernah memadamkan cahaya. Dan tak pernah berhenti mendengarkan. Karena dalam sunyi, aku masih menyebut namamu. Bukan untuk mengikat, tapi untuk mengingat.
Komentar