NONA PENDIAM

Di kantor tempatku bekerja saat ini, aku sedang menyukai seorang perempuan. Paras cantik dengan kulit putih. Tubuhnya kurus, tinggi. Kadang dia terlihat sangat sempurna ketika menggunakan kacamatanya. Aku lebih suka memberinya sebutan “Quiet Lady”. Namun.. karena tramua yang belum hilang, aku jadi kesulitan untuk mengajaknya untuk ngobrol. Bahkan hanya sekedar untuk menyapa saja.. aku masih belum mampu. Pandangan mata yang tegas dari tatapannya seolah mampu meruntuhkan nyaliku. Tempat duduknya tepat berada di sebrang mejaku. Sesekali aku mencuri pandang hanya untuk sekedar lihat wajahnya. Kemudian aku berkata dalam hati, “Sungguh indah mahluk ciptaanmu yang satu ini, Ya Tuhan”.

14.51 : “Gala, nanti sepulang kerja.. kamu jadi cerita atau nggak?”

14.55 : “Jadi dong.. kenapa memangnya?”

14.57 : “Nggak apa-apa.. mau carita soal apa?”

15.00 : “Kayak biasanya, Ca..”

15.03 : “Temen kerja yang kamu suka?”

15.05 : “Yup.. hehehe”.

15.06 : “Ih, Dia mulu.. nggak bosen apa?”

15.09 : “Enggak.. enggak akan pernah bosen..”

15.10 : “Yaudah, nanti ya..”

15.14 : “Oke, Ca.. See you later..

Setelah jam pulang kantor. Waktu itu, sore sedang bersama warna merah merekahnya. Semangkuk mie ayam telah siap untuk disantap. Sambil menunggu Eca, pandanganku teralihkan kepada beberapa orang yang tengah berlalu-lalang. Ada yang pulang, dan ada yang baru saja berangkat kerja. Beberapa orang dengan raut wajah yang letih sedang berusaha untuk kembali riang sebelum sampai di rumah mereka. Pertanyaan pertama-pun muncul. Aku bertanya tentang, “Apakah pulang ke rumah untuk bertemu dengan orang yang kita sayang bisa mengembalikan semangat?”

Ada beberapa alasan untuk orang pergi bekerja. Bisa hanya karena sebuah kewajiban mencari nafkah. Bisa juga karena ada hal yang lebih penting daripada itu. Seperti, kita bekerja untuk orang yang kita sayang. Setidaknya, itu alasan paling masuk akal untuk orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Dan aku, mungkin adalah salah satu orang yang bekerja karena orang yang kita sayang.

Senja mulai mereda. Merahnya perlahan hilang tergantikan oleh gelap malam. Bintang juga mulai bersinar. Mie ayamku, sudah habis aku makan. Kemudian, Eca datang sembari berkata, “Sorry, ya.. aku telat..”

Aku menjawab dengan santai, “Tenang aja.. nggak apa-apa kok..”

“Udah dari tadi?”

“Enggak kok, cuma baru habis satu mangkok mie ayam sih..”

“Yeee.. itu mah udah dari tadi..”

“Hehehe..”

Eca lalu memesan satu mangkok mie ayam juga. Menunggu makanannya tiba. Eca, kemudian melanjutkan perbincangan. “Kamu gimana hari ini? Aman kerjanya?”

“Aman kok..”, jawabku.

“Kalau si Dia, gimana?”

“Ha? Dia siapa?”

“Dih, pura-pura lupa.. itu loh, temen kantor kamu yang mau kamu ceritain..”

“Oh Dia.. Aku kira siapa.. hehehe..” aku berhanti diam sejenak, kemudian melanjutkan “Yaaa gitulah.. aku masih bingung..”

“Aduh Gala.. kamu bingung kenapa lagi?”

Entahlah, aku masih ragu untuk menjelaskan perasaanku tentang teman satu kantorku itu. Si Quiet Lady. Eca memang masih menjadi teman favoritku untuk saling berbagi cerita. Tapi masih berat saja rasanya untuk bisa bercerita kepadanya. Seperti ada dinding besar yang menghalangi.

“Gimana ya, Ca.. aku bingung harus mulai ceritanya dari mana..”

“Gini aja.. aku belum tau cerita kamu waktu awal pertemuan kalian berdua..”

“Panjang kalau gitu..”

“Terus mau mulai dari manaaaa, Galaaaa?”

“Iya, deh.. Iya..”

Cerita awalku dengan Nona Pendiam itu dimulai setelah beberapa hari bekerja. Kami berdua mendapat tugas untuk mengambil sebuah pesanan makan untuk acara kantor di pos satpam depan. Biasa, orang-orang kantor selalu menitipkan pesanan mereka di sana karena akses untuk masuk ke dalam kantor memerlukan kartu pengenal khusus. Di lift kantor, kami berdua mulai membuka obrolan. Nona Pendiam itu bertanya kepadaku, “Kamu, sebelum kerja di sini.. kerja dimana?”

Aku membalas, “Kerja di kantor swasta.. di bidang yang sama juga..”

“Oh gitu.. kalau aku.. ini adalah kantor pertama setelah aku lulus kuliah..”

“Ah iya..”

“Kaku amat, tenang aja kali.. orang-orang di kantor ini tuh santai-santai.. aku harap kamu betah kerja di sini..”

“Iya.. semoga saja..”

Sampai di pos satpam. Makanan yang telah dipesan ternyata sudah berada di sana. Lekas kami berdua membawanya kembali ke dalam kantor. Kebetulan, makanan yang dipesan berjumlah banyak namun hanya dikirim menggunakan satu kantong plastik besar berwarna merah. Karena terlalu beresiko jatuh jika hanya dibawa sendiri, kami berdua memutuskan untuk bekerja sama. Tangan kiriku mengangkat pada sisi kiri, sedangkan sisi yang satunya diangkat olehnya menggunakan tangan kanan. Pada saat itu, aku masih merasa biasa saja. Masih belum ada suka. Namun aku mulai tertarik kepadanya, setelah Nona Pendiam itu selalu baik kepadaku di beberapa kesempatan. Ketika aku sedang membutuhkan bantuan, dia selalu menjulurkan tangannya dengan ramah.

Kejadian pertama yang aku ingat adalah saat aku bingung harus menghubungi siapa, tentang biaya operasional yang seharusnya di tanggung oleh kantor. Yang aku ingat, salah satu tugas Nona Pendiam adalah membuat rekap pengeluaran operasional kantor.

“Ada apa Gala?”

“Aku ada pengeluaran operasional.. tapi aku bingung harus kasih ke siapa.. kamu bisa bantu aku kah?”

“Oh itu masuknya ke kas kecil.. bukan ke aku sih.. tapi nanti aku bantu deh..”

“Oke, makasih ya..”

Kejadian kedua, terjadi saat aku belum sempat mengisi perut dengan makanan karena sedang ada rapat hingga larut malam. Secara kebetulan, Nona Pendiam juga masih belum pulang. Di kantor, beberapa rekan kerja lain yang saat itu sedang lembur sudah kenyang semua, setelah makan malam bersama. Tanpa aku sempat meminta untuk dibelikan, Nona Pendiam itu memanggilku, lalu memberi tau bahwa dia telah memesankan makanan untukku. Aku yang merasa lapar pun lekas mengambil makanan di pos satpam.

Setelah kembali ke dalam kantor, Nona Pendiam bilang kepadaku, “Kamu makan aja, Gala.. tadi orang-orang kantor udah makan semua.. lagipula kamu belum makan, kan?”

Beberapa orang di kantor beranggapan bahwa Si Nona Pendiam itu adalah pribadi yang kurang tepat untukku. Ada yang mengatakan juga tentang kriteria yang diinginkan oleh Si Nona Pendiam itu memiliki standart tinggi. Dan ada yang bilang bahwa standarku untuk menjadi kekasihnya adalah hal yang mustahil. Eca juga bertanya di tengah-tengah waktu makan mie ayam, “Kenapa kamu suka sama dia?”

Berasal dari keluarga yang disiplin. Nona Pendiam itu memiliki seorang kakak laki-laki yang bekerja di bidang keamanan. Rumor yang aku dengar tentang ayahnya juga serupa. Ayahnya sempat menjabat sebagai kepala bidang keamanan. Meski aku belum mengetahui fakta yang sebenarnya, aku bisa memastikannya dengan beberapa orang yang mengetahui keluarga Si Nona Pendiam lebih jauh daripada aku.

Seseorang pernah berkata bahwa, manusia itu akan mengalami perubahan setelah mendapat hal besar dalam dirinya. Sebagai lulusan dari salah satu perguruan tinggi terbaik di Jawa Timur. Nona Pendiam pasti juga punya ceritanya sendiri. Pengalaman yang bisa membuatnya menjadi pribadi seperti saat ini. Menjadi pribadi jujur apa adanya untuk dirinya sendiri. Setidaknya sudah ada hal besar dalam hidup, yang mampu merubah dirinya.

Eca yang sedang mengunyah mie ayam berkata, “Eang, pa bunganya am amu uka ia?”. Suaranya kurang jelas karena mulutnya masih penuh dengan mie ayam yang belum dia telan.

“Apaan sih, Ca? Kalau mau ngomong tuh ditelan dulu makanan kamu..”

“Ahhhh..”, Eca menelan makanan di mulutnya kemudian berkata kembali, “Emang, apa hubungannya sama kamu suka dia?”

Sejujurnya aku masih belum tau sampai saat ini alasannya apa. Tapi hal yang membuatku tertarik adalah untuk menjadi teman ngobrolnya. Kenapa? Karena, aku ingin belajar dari kisah hidupnya.

“Kan tinggal ngobrol aja. Kenapa susah banget?” tanya Eca.

“Nah itu dia masalahnya..” jawabku.

Pertanyaan yang juga aku pertanyakan kepada diriku sendiri. Hingga saat ini, aku masih belum bisa mengajaknya untuk ngobrol. Kadang tiba-tiba saja jantungku berdegup kencang, saat aku mendapat kesempatan untuk mengobrol dengan Nona Pendiam.

Eca memotong perkataanku, “Kamu bukan lagi tertarik, Gala.. tapi cinta..”

“Cinta?”, balasku dengan bingung.

“Iyup”, yakin Eca sambil menganggukkan kepalanya.

“Kok bisa?”

Eca meletakkan alat makannya di atas mangkok mie ayam yang belum habis dia makan, “Sekarang, jawab satu pertanyaanku. Iya atau nggak..”

“Apa pertanyaannya?”

“Setiap hari, waktu kamu sendirian.. apa kamu selalu berharap buat bisa ketemu sama dia terus?”

“Nggak tau, Ca..”

Eca menghela nafas panjang sambil menatap tajam mataku, dia kembali menegaskan, “Iya.. atau nggak..?”

Aku yang masih kebingungan dengan jawaban mana yang harus aku pilih, hanya bisa diam. Eca juga diam menunggu jawabanku. Situasi kami berdua mendadak saling diam untuk beberapa saat.

“Haaahhhh..”, Kembali, Eca menghela nafas panjangnya. Dia melanjutkan makan mie ayam.

Setelah aku dan Eca pulang. Di dalam rumah, aku berbaring terlentang di atas kasur kamar. Menatap langit-langit, kemudian memikirkan kembali pertanyaan dari Eca yang masih belum aku jawab. Dalam pikiranku, aku hanya merasa bahwa apa yang Eca tanyakan kepadaku adalah sebuah kebenaran. Aku sering sekali ingin menghabiskan waktuku dengan Nona Pendiam. Namun di dalam hatiku, aku benci untuk mengakui hal itu.

Komentar

Postingan Populer