PELARIAN

Aku sangat yakin bahwa setiap orang selalu butuh hal yang disebut sebagai “PELARIAN”. Setiap orang pasti juga punya hal yang diresahkan. Biasanya, hal yang mereka resahkan akan membawa mereka di dua persimpangan jalan menuju hal negatif atau positif. Beberapa orang juga butuh tempat untuk melampiaskan rasa kesalnya, termasuk aku. Dan untukku, bercerita melalui tulisan adalah salah satu jalan keluar. Mungkin tidak semenarik orang lain yang bisa melakukan pelariaannya kepada olahraga atau membuat peningkatan persona diri. Tapi bagiku, menulis dan merangkai beberapa kata menjadi satu buah kaliamat itu sudah lebih dari cukup. Hasil akhirnya biasa berupa puisi atau cerita pendek khayalan. Mungkin lebih kepada imajinasi dan harapan yang belum kesampaian.

Beberapa pelarian mungkin akan memberikan sebuah dampak menarik di masa depan. Entah karya tulis yang akan dibukukan atau badan yang terbentuk karena sebuah olahraga. Beda cerita kalau memilih pelarian ke arah jalan negatif. Mungkin ujungnya adalah penjara atau depresi diri. Aku sadar, bahwa pelarian pasti melelahkan karena selalu menuntut untuk bersembunyi dari hal yang tidak pernah kita suka, pergi ke sana kemari untuk menemukan hal yang membuat nyaman, serta degup jantung yang tidak pernah menemukan ketenangan. Seperti ada adrenalin yang terpacu.

Ditemani oleh sebotol kopi siap minum, aku duduk di pojok ruang kosong. Bercerita bersama diriku sendiri. Aku mulai menulis. Lebih tepatnya aku mengetik, sebab aku menggunakan sebuah laptop, bukan kertas dan pena. Tidak lupa sebungkus rokok juga ada di sebelahnya. Setidaknya aku tidak benar-benar sendirian. Tapi ini sungguh sangat sepi. Tidak ada lawan bicaranya. Aku hanya mengetik apa yang ada di kepala, lalu menuangkannya secara perlahan ke dalam sebuah rangkaian kata. Entahlah, siapa yang akan membacanya. Aku juga tidak perduli.

Sejak SMP atau Sekolah Mengengah Pertama. Aku memulai pelarianku. Dengan bermodal kebosanan saat jam pelajaran matematika, aku mulai menulis secuah cerpen. Lembar demi lembar. Satu lembar satu cerita. Hampir di setiap pelajaran itu, aku menulis. Bahkan aku sendiri sampai tidak tau tentang materi pelajaran yang aku dapatkan. Hingga puncaknya,  ada salah seorang teman kelas yang hendak miminjam buku kepadaku. Buku yang aku gunakan untuk menulis memiliki sampul yang sama dengan buku matematika. Tanpa mengecek ulang, aku memberikan buku itu.

“Hei Gala. Ini bukan buku matematika. Cuma ada kata-kata dan cerita. Mana angkanya?” kata temanku.

“Ah maaf, salah..” balasku sambil mengecek ulang buku di dalam tasku, “ini yang benar”.

“Tunggu..” temanku menahan buku cerita milikku di tangannya, “kalau begitu, aku akan pinjam keduanya. Satu untuk aku pelajari, dan satunya untuk aku baca. Ini buku cerita karangan kamu sendiri kan?”

“Iya, semua itu cerita karanganku”.

“Bagus, aku akan membacanya”.

“Untuk apa?” aku bertanya penasaran.

“Bukankah buku cerita itu ada untuk dibaca? Kalau hanya untuk disimpan sendirian, untuk apa kamu mengarangnya?”

“Jadi, kamu mau membaca cerita karanganku?”

“Iya, akan aku baca”.

Sejak kejadian itu, berita tentang buku ceritaku mulai tersebar perlahan-lahan. Satu-persatu. Kelas demi kelas, hingga sampai angkatan demi angkatan. Karangan cerita yang aku tulis hanya sebagai sebuah pelarian saja, akhirnya ditemukan oleh pembacanya.

Sejujurnya, aku menjadikan menulis sebagai sebuah pelarian karena saat itu teman kelas yang duduk satu bangku denganku juga melakukan pelariannya. Dia menggambar di bukunya. Ketika aku ingin melakukan hal yang sama, sayangnya gambar yang aku buat sangatlah buruk. Gambar paling bagus yang pernah aku buat adalah gambar dua gunung dengan jalan raya di antarannya. Matahari menjadi pelengkap di atas gunung itu. Sebagai bukti kalau nilai menggambarku sangat buruk adalah nilai pelajaran kesenianku. Aku tidak pernah mendapat nilai delapan atau bahkan sembilan. Nilai paling tinggi yang pernah aku dapat adalah tujuh puluh sembilan koma lima. Yaa.. kurang nol koma lima sih untuk sampai ke angka delapan. Itu pun juga dari hasil aku menggambar dua gunung tadi.

Bermodalkan rasa suka menulis sebuah cerita, aku pun mulai memupuk mimpi menjadi seorang novelis. Setelah lulus dari SMP, aku ingin melanjutkan pendidikan menengah ku di jurusan bahasa dan sastra. Namun, kedua orang tuaku tidak merestui. Ibu dan ayahku ingin aku untuk melanjutkan pendidikan di sekolah menengah kejuruan, jurusan gambar bangunan. Iya, jurusan menggambar, dimana aku tidak bisa untuk menggambar bagus tapi aku diharuskan masuk ke jurusan itu. Karena aku tidak ingin menjadi anak yang durhaka, aku menerimanya meski dengan berat hati. Alasan dari kedua orang tuaku saat merayuku adalah karena ayahku seorang lulusan arsitektur. Aku lekas bertanya, “apa hubungannya?”

Ayahku menjawab, “Di dunia arsitek, menggambar adalah hal paling seru. Kamu bisa menuangkan semua ide kamu menjadi sebuah desain bangunan yang indah dan bagus. Di dunia kerja, juga banyak yang membutuhkan”.

Lalu ibuku meneruskan, “Iya, itu benar Gala. Nanti ayahmu akan membantu juga. Jadi kamu akan mudah untuk belajar”.

Di tahun pertama, beberapa nilai mata pelajaranku mendapat hasil yang cukup memuaskan. Di kelas, aku tergolong sebagai siswa yang cukup pintar. Setidaknya aku selalu masuk peringat sepuluh besar terbaik. Berbanding terbalik saat aku SMP, nilai jurusan bidang menggambarku waktu SMK justru selalu mendapat angka di atas delapan puluh lima. Lebih sering di angka sembilan puluhan sih. Di mata pelajaran matematika, aku juga langganan mendapat nilai delapan. Dan nilai Bahasa Indonesia, menjadi posisi pelengkap nomor tiga setelahnya.

Masih dengan pelarian yang sama seperti waktu SMP dulu. Dunia rangkaian kata-kataku juga ikut berkembang. Saat itu, aku lebih sering menulis sebuah naskah pendek untuk video pendek juga. Bersama dengan temanku bernama Dino, Niel, dan Dana yang memiliki keresahan yang tidak jauh berbeda. Kami berempat sering menghabiskan waktu bersama. Dimulai dari mengerjakan tugas, hingga akhirnya membuat projek video pendek. Pembagian tugasnya cukup sederhana. Aku sebagai pembuat naskah, Dino sebagai pengambil gambar, Dana sebagai aktor pendukung, serta Niel yang sering menjadi pemeran utamanya. Alasan memilih Niel untuk menjadi pemeran utama saat itu juga sederhana. Karena Niel selalu didekati oleh banyak wanita.

“Hei, Niel. Kali ini kamu lagi, ya. Yang jadi pemeran utamanya?”, kata Dino.

“Kok aku? Dana tuh..” balas Niel, sambil menunjuk ke arah Dana.

“Kamu aja lah.. kan kamu Crocoda-Niel.. hahaha”. jawab Dana.

“Aku setuju..” aku ikut nimbrung.

“Kamu setuju apaan?” ucap Niel.

“Setuju kalau Crocoda-Niel yang jadi pemeran utamanya.. hahaha..” aku memberi lelucon balasan.

Singkat cerita, hampir di setiap bulan, aku, Dino, Niel, dan Dana menghasilkan beberapa video pendek. Video yang bagus, kami unggak ke Youtube dan yang menurut kami tidak bagus, kami simpan sendiri. Hasilnya cukup memuaskan. Di tahun kedua, seorang guru dari salah satu mata pelajaran, memberikan tugas untuk membuat video dengan topik yang sudah ditentukan. Karena sudah terlalu sering kami membuat video, hampir seluruh siswa yang berada di kelas, meminta bantuan kami berempat. Dalam tugas tersebut juga menyatakan bahwa seluruh siswa kelas harus ada di dalam satu video. Kami berempat akhirnya memutuskan untuk membuat video bersama siswa lainnya. Kali ini pembagian tugasnya masih sama. Semua dialog dan alur cerita untuk video, aku yang menulisnya sesuai masukan dari seluruh penduduk kelas. Pengambilan gambar masih dilakukan sendirian oleh Dino. Niel dan Dana yang mengarahkan sisanya. Untuk proses editing akhir, dilakukan oleh aku dan Dino.

Beberapa waktu berlalu, akhirnya video kelas kami selesai. Guru yang memberikan tugasnya juga terpukau kagum. Ada juga beberapa guru lain menunjukkan video kami saat mengajar di kelas lain. Tanpa kami sadari, kami sudah terkenal hampir di satu sekolah. Pelarian positif itu memberikan dampak bagus bagi aku, Dino, Niel dan Dana. Mengantarkan kami menuju sebuah pencapaian yang layak untuk kami kenang. Pelariannya berhasil.. hingga.. aku bertemu dengan persimpangan lain di tahun terakhir sekolah.

“Hai, boleh berkenalan?”, ucap seorang wanita kepadaku.

“Boleh..”, balasku.

“Aku Rima..”, kata wanita itu sambil mengajakku berjabat tangan.

“Galandra..”, aku membalas ringan tangannya.

Pelarianku mulai berubah arah sejak bertemu dengan Rima. Menulis, perlahan aku lupakan. Aku lebih sering mengobrol dengan Rima untuk menghabiskan waktu luangku. Tidak ada lagi rangkaian kata sebagai tempat untuk bercerita. Rima telah menggantikannya. Kisah asmara dunia nyata, akhirnya menyapaku menuju jalan sebaliknya. Membawaku ke dalam ruangan yang berbeda.

Komentar

Postingan Populer