PERTEMUAN PERTAMA (Part II) -Namaku, Eca-
Hal yang paling aku yakini adalah setiap orang pasti memiliki masalah dengan dirinya sendiri. Dengan pikirannya. Dengan egonya. Dan dengan kebingungannya. Segala hal yang mampu membuat orang itu tumbuh seiring berjalannya waktu. Termasuk dengan diriku. Diriku juga merasakan hal yang serupa. Bingung dengan arah tujuan yang mau kemana, yang tidak jelas arahnya tapi selalu dipaksa untuk melangkah maju setiap hatinya.
Aku Vanessa Karla. Hidup diantara bangunan tinggi menjulang dengan lampu mewah yang bersinar terang saat malam tiba, selalu membuatku berpikir hal yang sama setiap harinya. Tentang sampai kapan perjalananku ini akan berakhir. Petualangan penuh tekanan setiap pagi hingga menjelang petang di ruangan kantor hanya sebagian kecil dari masalah hidupku. Masalah terbesar yang sungguh sangat menyiksa untukku adalah kesendirian dan kesepian. Tanpa satu orang yang selalu bertanya tentang kabar atau mungkin hanya sekedar becerita tanpa topik yang jelas. Kadang aku sangat menginginkan memiliki teman untuk mengobrol. Menghabiskan waktu dengan duduk santai tanpa harus memikirkan hal berat bersama seseorang.
NOVEMBER. Bulan Hujan. Saat itu aku tengah berteduh di sebuah kedai kopi pinggir balai kota. Aku memesan secangkir susu panas. Dan di sanalah aku, bertemu untuk pertama kalinya dengan dia. Kami berdua berkenalan tanpa sengaja. Kedai kopi yang penuh dengan pengunjung, memaksaku untuk berbagi tempat bersama dia di satu meja bundar berukuran sedang.
“Boleh numpang duduk di sini?”
“Boleh, silahkan.”
Kami berdua tidak langsung mengobrol. Dia sibuk dengan ponselnya. Seperti dia tidak mau dunianya dimasuki oleh seseorang. Begitu juga aku. Tidak memulai percakapan dengan dia sebelum akhirnya dia meletakkan ponselnya karena sebuah sambaran kilat yang disusul dengan suara petir menyambar.
“Lebih baik ponselnya dimatikan saja,” itu kata dia.
“Kenapa?”
“Kata orang-orang sih begitu.”
“Lalu kenapa kalau saya tidak mau?”
“Bisa bahaya. Nanti tersambar. Lalu bisa kesetrum.”
“Kalau saya kesetrum, apa dampaknya buat anda?”
“Nanti saya jadi repot. Harus tanggung jawab karena saya yang ada di sebelah anda. Ada kemungkinan juga yang lebih parah sih. Nanti bisa jadi, saya juga ikut kesetrum. Dan itu sungguh berbahaya. Saya takut. Jadi, lebih baik ponselnya dimatikan saja.”
Entahlah, kalimat yang keluar dari ucapannya bisa aku mengerti maksudnya. Dia ingin aku untuk berhati-hati. Dan aku menuruti perkataannya. Mematikan ponsel kemudian menyimpannya di dalam saku celana. Tak lama dari itu, minuman yang telah dia pesan, tiba. Pelayan kasir meletakkan cangkir berisikan kopi susu panas. Bubuk kopinya masih terlihat mengambang di permukaan sedang di bagian bawah cangkirnya terlihat warnh putih kental susu yang belum tercampur sepenuhnya.
“Anda memang mau ngopi atau hanya sekedar berteduh di sini?” tanya dia kembali.
“Hanya berteduh. Tidak lebih.”
“Pantas saja. Sudah saya kira.”
“Dari mana anda tau?”
“Penanan anda. Bukan kopi melainkan susu panas.”
“Memang apa hubungannya?”
Dia tidak menjawabnya. Bubuk kopi yang masih mengambang dengan asap mengudara dari dalam cangkir, dia buang dengan perlahan-lahan hingga bersih. Kemudian dia bertanya kepadaku kembali, “boleh berkenalan?”
“Anda belum menjawab pertanyaan saya yang sebelumnya.”
“Pertanyaan yang mana, ya?”
“Hubungan antara berteduh dengan kopi dan susu panas.”
“Oh itu, benar juga.”
“Lalu apa jawaban anda?”
“Tunggu, ini tidak terlalu formal, ya? Pakai kata saya dan anda.. bagaimana kalau kita ganti dengan kata ‘aku’ dan ‘kamu’, sepertinya lebih santai.”
Aku semakin dibuat bingung dengan cara dia mengajakku berbicara. Dia tidak menjawab pertanyaan dariku dan justru mengganti topik dengan tiba-tiba. Dan yang lebih anehnya, aku tidak marah tapi malah justru meladeninya untuk terus mengobrol.
“Oke, nggak masalah.”
“Kalau gitu, namaku Galandra. Kalau kamu?”
“Vanessa Karla.”
“Nama kamu susah banget buat jadi sapaan.”
“Maksudnya?”
“Kamu tau nggak, kalau nama yang bagus itu adalah nama yang bisa dipanggil penggalan katanya hanya dengan tiga huruf. Seperti namaku yang biasa dipanggil dengan nama ‘Gal’, atau temanku yang memiliki nama Baskara lalu dipanggil ‘Bas’.”
“Kan, nama aku bisa kamu panggil dengan ‘Van’?”
“Itu seperti nama orang Belanda.”
“Esa, juga bisa?”
“Terlalu berbahaya karena itu ada di ayat pertama pancasila.”
“Kalau begitu, panggil aja..,” belum selesai aku berbicara, dia memotong dengan tiba-tiba, “Eca. Nama itu sesuai dengan kamu.”
“Kenapa Eca?”
“Aku ambil dari kata Esa. Kalau di plesetin dikit atau membayangkan anak kecil yang belum lancar berbicara, dia pasti panggil kamu dengan nama itu.”
“Memangnya aku anak kecil?”
“Enggak sih, tapi aku yakin kalau aku lebih tinggi dari kamu. Hehehe..”
Galandra. Dia laki-laki pertama setelah empat tahun lamanya, aku merasakan sendirian. Lawakan receh yang dia berikan di kedai kopi bulan November waktu itu membuatku tertawa. Di saat itu juga, aku merasa senang karena aku telah bertemu dengan dia.
“Kalau begitu, aku akan panggil kamu dengan nama ‘Gala’. Bukan ‘Gal’ saja.”
“Boleh, nggak masalah.”
“Jadi, bisa kita ulang dari awal?”
“Oke. Silahkan.”
“Perkenalkan, namaku Galandra.”
“Namaku, Eca.”
Komentar