SEPERTINYA AKU YANG JATUH CINTA SAMA KAMU
Sejak bertemu dengan Galandra, hari-hariku yang sepi mulai terasa ramai dengan segudang pertanyaan random dari pikiran Gala yang dia tanyakan kepadaku. Tentang masa lalu, tentang pengalaman, tentang kebingungan, dan tentang mimpinya. Dia adalah sosok pemimpi yang mencoba untuk bertahan hidup dengan cara menulis. Impian terbesarnya adalah menjadi seorang penulis terkenal. Tempat favoritnya adalah toko buku yang berada di dalam mall pusat kota. Dia juga sering menulis beberapa cerita pendek saat sedang dilanda oleh perasaan hatinya yang mudah sekali berubah. Genre cerita yang sering dia angkat adalah tentang perasaan cinta. Untuk Galandra sendiri, cinta adalah sesuatu yang indah jika diceritakan bersama paragraf-paragraf kalimat mesra.
“Kamu kenapa suka banget sama dunia tulis?”
“Semua orang selalu butuh tempat lari atau sembunyi nggak sih, Ca? Buat aku sendiri, nulis tuh aku jadiin sebagai tempat lari aku. Di sana tenang, nggak ada yang bisa ngelarang aku buat jadi diri aku sendiri.”
“Emangnya kamu nggak bisa jadi diri sendiri?”
“Nggak tau, Ca. Aku sendiri masih bingung sama diri aku.”
“Udah lama?”
“Apanya?”
“Jadi orang lainnya?”
Di awal pertemuanku, aku tidak tau kalau sebenarnya Gala adalah laki-laki yang bisa menyembunyikan masalahnya hanya dengan melalui dunia tulis. Dia tidak pernah terlihat seperti itu karena penampilannya. Dia lebih terlihat seperti badboy. Dengan beberapa cincin yang terpasang di jari tangan, kaos polos di dalam kemeja flanel kotak-kotak yang tidak pernah dia kancing, celana jean’s, dan sepatu sneakers. Rambutnya yang tidak pernah di sisir rapi semakin menguatkan auranya sebagai badboy. Berbeda jauh denganku. Aku lebih suka memakai kemeja polos yang terkancing rapi, meski sesekali juga aku memakai kaos berlengan panjang.
Gala bercerita apapun kepadaku. Hal yang ada dalam pikirannya selalu dia sampaikan, bahkan aku sendiri sering sekali tidak paham kemana arah pembicaraannya. Tapi itulah keunikan yang membuatku nyaman. Dia seperti membagi dunia miliknya kepadaku. Mempersilahkan aku masuk ke dalamnya melalui obrolan singkat yang berujung nyaman. Bahkan lebih. Mungkin saja suka. Tapi aku harap tidak masuk ke zona cinta miliknya. Karena aku telah mendengar cerita masa lalu bersama beberapa wanitanya sebelumnya. Bahkan kini, setelah dia mengikhlaskan wanita kantornya, dia sudah jatuh cinta dengan wanita lain yang sering dia panggil dengan sebutan “Ka”. Jujur, aku masih belum tau “Ka” itu siapa, dia hanya bercerita tanpa pernah memberi tau nama aslinya. Sepertinya itu sudah menjadi kebiasaan Gala untuk memberi nama sesuka hatinya kepada siapapun.
Usia kami berdua mungkin berbeda, Gala dua tahun lebih muda dari aku. Namun pemikirannya yang diluar nalar itulah yang menarik perhatianku. Dia cerdas, hanya saja memiliki kekurangan, yaitu rasa malas yang berlebihan. Bahkan, dia lebih cenderung memikirkan cara yang rumit hanya untuk mempermudah pekerjaannya. Semacam membuat alur sistemnya sendiri yang aku sendiri tidak pernah paham saat dia menjelaskannya kepadaku. Alasannya jelas, karena dia ingin bermalas-malasan setelahnya. Hobinya adalah tidur. Dia bisa menghabiskan waktu lebih lama hanya untuk tidur. Dan dia bisa melakukannya dimana saja. Meski terik matahari menyinari, atau hawa ruangan yang panas, tidak akan mengurungkan niatnya untuk tidur. Namun kata dia, saat ini dia sedang mengerjakan proyek penulisan untuk bukunya yang pertama. Aku sangat exited saat dia bercerita kepadaku.
“Ca, nanti kalau buku pertama ku udah jadi, kamu mau beli atau nggak?”
“Kamu lagi nulis buku?”
“Iya. Aku mau merealisasikan mimpi aku satu persatu.”
“Wah, semangat Gala. Nanti pasti aku beli.”
“Tenang, nanti pasti aku kasih tanda tangan aku di halaman pertama bukunya.”
“Kalau itu nggak usah juga nggak apa-apa sih.”
“Dih, kok gitu?”
“Hehehe, iya iya. Nanti pasti aku beli terus minta tanda tangan kamu. Yang penting kamu selesaiin tulisan kamu dulu.”
“Siap, Ca.”
Sebenarnya aku iri dengan Gala. Terutama dengan mimpi yang membuatnya untuk terus bertahan hidup. Aku memang selalu mendengar ceritanya. Pengalaman yang dia dapat selama dia hidup dan terjalnya menghadapi diri sendiri membuatku sadar betapa mahal harga yang harus dibayarkan oleh dunia ini. Hingga saat ini, Gala masih berjuang untuk terus bertahan hidup. Dan aku tau, lawan terbesar sekaligus paling berat bagi Gala adalah sisi buruk dalam dirinya. Terutama rasa malas yang mendiami raganya selama ini. Rasa takut yang tiba-tiba saja menghadang di tengah perjalanan menuju mimpinya.
“Ca, aku kadang takut sendirian. Tapi aku tau kalau aku nggak bisa apa-apa buat bisa dapet temen. Selain keluarga terutama ibuku, aku belajar untuk terus berjuang sendirian selama ini.”
“Mau nyerah lagi? Mau patah hati lagi? Mau kecewa lagi?”
“Kemarin, tulisan aku yang belum mau sebar, udah dibaca sama temen kantor aku. Mereka buat bercanda dan ketawa. Kayaknya aku masih belum siap buat terima hujatan lebih dari itu, deh. Aku masih terlalu lemah, Ca.”
“Kamu marah?”
“Sebenernya enggak, sih. Cuma belum waktunya aja. Kayak terlalu cepet aja.”
“Kamu mau nunggu sampai kapan, Gala? Sekarang aku tanya, emangnya kamu tau waktu yang tepat itu kapan?”
“Nggak tau, Ca.”
“Nggak ada Gala. Nggak ada yang namanya waktu yang tepat. Semua bisa terjadi secara tiba-tiba. Dan yang harus kamu lakukan adalah mempersiapkan itu semua. Kuat itu nggak dateng dengan tiba-tiba. Ada dinding yang harus dihantam keras yang nggak menutup kemungkinan ada rasa sakit di dalamnya. And you should to be strong.”
“Sampai kapan, Ca?”
“Sampai kamu bisa terbiasa sama itu semua.”
Meski Gala selalu dirundung oleh rasa takutnya, dia masih punya mimpi untuk dijadikan sebagai tujuan hidup. Tanda bintang di tanda tangannya adalah bukti bahwa dia punya mimpi. Namun aku berbeda, mimpi ku sederhana. Hidup damai dan tinggal di rumah minimalis yang nyaman bersama keluarga kecil. Itulah alasanku kenapa aku hanya melangkah sesuai alur yang ada. Bahkan posisiku sebagai kepala divisi saat ini merupakan pencapaian yang aku sendiri tidak pernah sangka.
“Gala, kalau kamu jadi aku. Apa kamu masih punya mimpi yang sama buat jadi penulis buku?”
“Belum tentu, Ca.”
“Kenapa?”
“Karena mungkin aja mimpi aku buat jadi penulis nggak akan pernah ada kalau aku jadi kamu. Dan bisa jadi aku nggak akan kenal sama kamu.”
“Emang apa hubungannya?”
“Karena satu hal, Ca. Mungkin nggak bisa aku ceritain sekarang. Tapi aku janji suatu saat nanti akan aku ceritain ke kamu.”
“Jangan buat penasaran deh..”
“Hehehe..”
Jangan sampai kamu jatuh cinta ke aku, Gala. Jangan Sampai. Aku nggak mau kamu cinta ke aku terus aku nggak tau harus balas kamu gimana. Karena sejujurnya aku udah jatuh cinta sama kamu duluan. Dan aku memilih diam karena punya rasa yang sama. Rasa takut yang aku sendiri nggak bisa jelasin bahkan ke diri aku sendiri. Jadi jangan sampai jatuh dan merubah semua yang sudah jadi zona nyaman ini menjadi asing seperti masa lalu kamu. Aku nggak mau kita jauh dan kembali sendirian.
Waktu kamu hilang kabar, lalu aku tau fakta bahwa kamu baru keluar dari rumah sakit waktu itu. Aku nangis semaleman. Aku khawatir kamu bakalan pergi ninggalin aku. Malam itu jadi malam yang menakutkan untukku. Tapi aku coba buat lawan dengan memberanikan diri tanya kabar ke kamu di sore hari setelahnya. Hal yang aku takutkan tidak terjadi, justru setelah menang melawan rasa takut diri sendiri, aku mendapatkan hadiah dari kamu. Dinner sushi kita berdua. Sangat menyenangkan. Bahkan aku bisa lebih lepas setelah mengantarmu pulang dengan bilang, “Kalau kangen tuh bilang. Jangan dipendem sendirian, Gala. Nanti yang kamu kangenin nggak bisa bales kangennya.” Sialnya, ketika aku takut kalau kamu akan jatuh cinta kepadaku lebih dulu, justru aku yang sepertinya jatuh cinta sama kamu.
Komentar