TAK LAGI BICARA
Dipertemukan oleh ketidak sengajaan. Sebagai rekan kerja yang seharusnya saling berbicara, aku dan Nona Pendiam tidak lagi berbagi sapa. Bahkan setelah berbulan-bulan di dalam satu ruangan yang sama, kami berdua saling mendiamkan satu sama lain. Meski sesekali saling mencuri pandang lalu bertatapan, ego dalam diri kami masih sama-sama tinggi. Entahlah siapa yang salah. Atau mungkin aku yang terlanjur suka kepadanya sedangkan Nona Pendiam itu tidak.
Satu hari, saat ruang kantor sedang direnovasi. Nona Pendiam pindah dari tempat duduknya. Dia menempati satu ruang kecil yang diisi oleh beberapa orang untuk sementara waktu. Berkas kerja yang begitu banyak membuat sesak tempatnya untuk bekerja. Tidak jarang dia mengeluhkan hal itu kepada salah satu rekan kerjanya.
“Ihhh.. ini berkasnya banyak banget di mejaku..”, ucap Si Nona Pendiam.
“Ya mau gimana lagi? Kantor sedang dalam renovasi. Sabar dong..”, balas seorang rekan kerja lain yang duduk di sebelahnya.
“Aduh.. kapan selesainya sih..?” sahut kembali Si Nona Pendiam.
Di kesempatan yang berbeda, aku secara diam-diam menaruh kata ucapan semangat yang aku tulis di selembar Sticky Note kecil berbentuk persegi di meja Nona Pendiam. Dari dulu, aku selalu suka dengan sebuah kejutan-kejutan sederhana namun memiliki kesan cerita di baliknya. Memang sih, menjadi misterius itu menyenangkan. Tapi sepertinya Nona Pendiam lebih suka laki-laki yang langsung mengutarakan pereasaannya.
Kejutan berikutnya terjadi di hari Valentine. Aku kembali menaruh cokelat di atas meja kerjanya. Alih-laih jika dia akan merasa senang, Nona Pendiam memanggilku. Dia bertanya, “Cokelat ini dari kamu, Gala?”
Aku mencoba mengelak dengan memberikan jawaban, “Nggak.. bukan aku kok..”
Lekas dia memberikan cokelat itu kepadaku dengan sedikit memaksa, “Kalau gitu, cokelatnya buat kamu aja..”
“Kok buat aku?” aku bertanya kembali.
“Udah, terima aja.. makasih ya..”, jawab Nona Pendiam dengan senyumnya yang ramah.
Rasa kecewa yang sedikit mengundang air mata itu hadir seketika. Aku dengan terpaksa menerima cokelat itu. Coklat yang aku harap bisa membuat kita kembali berbicara justru membuat suasana menjadi lebih parah. Kami berdua mulai berhenti saling sapa sejak hari itu.
Hingga kantor lama telah berubah dengan suasana baru. Nona Pendiam kini duduk di depan ku. Kami saling berhadapan, hanya tersekat oleh bilik kecil diantaranya. Doaku ingin dekat dengan Nona Pendiam memang terwujud, meksi aku sadar bahwa doa ku kurang lengkap. Karena semua percuma, kami hanya bisa saling tatap tanpa ada kata yang terucap.
Teman satu kantorku yang bernama Ahmad sering menjaili Nona Pendiam dengan memberi candaan. Hal paling Ahmad suka adalah saat aku tiba di kantor, lalu menyebut namaku sambil menoleh ke arah Nona Pendiam.
“Massss Galaaaa… Ada yang kangen nihhh… hehehe”, kata Ahmad.
“Apaan sih..!” balas si Nona Pendiam kepada Ahmad.
“Lhooo kannn.. itu loh, Mas Gala nya udah dateng..” sahut Ahmad sembari tertawa, “hahaha”.
“Aduh Mad..! udah ya aku bilang..”.
Respond yang sering aku gunakan ketika Ahmad membercandai Nona Pendiam adalah diam tak membalas. Aku benar-benar mengacuhkannya. Mencoba untuk tidak perduli meski dalam hati, aku ingin sekali kembali mengobrol dengan Nona Pendiam.
Di malam yang tenang, pikiranku juga terbang melayang. Bermunajat untuk sebuah keinginan dicintai oleh wanita yang aku suka. Untuk saat ini mungkin Si Nona Pendiam, namun entah jika suatu hari nanti ada wanita lain yang akan datang menggantikan. Aku membayangkan mata indah seperti bola pingpong milik Nona Pendiam sedang tertutup oleh kelopaknya. Akankah masih sama indah atau justru lebih indah? Dengan bibir nya yang tersenyum menutup lelap. Sedang aku mengelus rambut kepalanya sambil memberikan sebuah cerita pengantar tidur.
Kalau kata Sal Priadi, “Kan kuceritakan padamu.. bagaimana hidupku tanpamu..”
Dalam lamunan khayal, aku bertanya-tanya. Apakah Nona Pendiam akan suka? Apakah dia akan merasa aman? Atau justru dia akan bersyukur? Aku masih tidak tau jawabannya. Lagipula, itu semua adalah dunia harapan yang belum tentu akan diwujudkan. Aku hanya mencoba untuk realistis, meski aku lebih suka berharap pada keajaiban semesta untukku dan untuk Nona Pendiam. Saat ini aku mungkin masih saling diam tanpa cerita dan sapa dengan dia. Namun satu hal yang pasti. Hal yang membuatku untuk terus berdoa dan berharap. Bahwa suatu saat nanti, Nona Pendiam akan kembali berbicara denganku. Atau justru dia akan jatuh cinta kepadaku.
“HOPE”.
“Hai Pemilik Semesta. Izinkan aku menitih harap kepadamu. Sepenuhnya. Seutuhnya. Aku yakin, jika aku menitip harap kepadamu Pemilik Semesta yang indah ini, suatu saat pasti akan menjadi kenyataan. Dan aku sangat yakin, ketika Engkau menghendakinya, Engkau pasti wujudkan beserta hal-hal baik lainnya.
I really sure. I will never lose hope with it. No one can beat you as the Owner’s of the all universe”.
Semesta kadang memang suka bercanda dengan cara yang berbeda. Bali memberiku sepenggal cerita menari bersama Nona Pendiam dan kenyataan yang aku tidak suka. Ketika kantor kami membuat sebuah acara liburan. Pulau Dewata menjadi salah satu opsi yang paling diminati oleh sebagian besar karyawan kantor. Direktur perusahaan juga menyetujui acara tersebut.
Tidak lama waktu berlalu, hari keberangkatan tiba. Setelah jam pulang kantor selesai. Aku dan Nona Pendiam serta karyawan kantor yang lain akhirnya berangkat menuju bandara. Kami terbang menggunakan pesawat setelah petang tiba. Setengah jam perjalanan terlewati di atas awan. Penerbangan menuju Bali itu menjadi pengalaman pertamaku. Harapan di masa lalu untuk bisa keluar dari Pulau Jawa tanpa biaya pribadi akhirnya diwujudkan oleh pemilik semesta.
Sesampainya di Bali, pesawat kami mendarat dengan selamat. Hati senang saat menginjakkan kaki di bandara I Gusti Ngurah Rai ikut serta mengiringi. Barang yang aku bawa hanyalah satu tas rangsel berisi laptop dan satu tas koper berisi pakaian bersih. Sembari menunggu kendaraan yang menjemput. Aku bersantai dengan beberapa batang rokok yang aku hirup bergantian dengan udara Bali yang segar malam itu. Tebar rasa syukur yang aku ungkapkan dalam hati menyempurnakan bahagiaku.
Hingga tiba kendaraan yang ditunggu. Semesta memulai skenario lucunya. Aku dan Nona Pendiam berada dalam satu kendaraan yang sama. Tidak hanya berdua, salah satu rekan kerjaku yang bernama Vi, juga ikut masuk menemani. Setelah barang bawaan masuk ke dalam bagasi, aku membuka pintu tengah. Hendak masuk ke dalam, Nona Pendiam berkata, “Vi, kamu di tengah aja sama aku. Biar Gala yang di depan. Duduk samping Driver”.
Mendengar perkataan Nona Pendiam yang cukup keras. Aku menuntup pintu tengah kemudian membuka pintu depan dan duduk di samping Driver. Saat itu aku sudah merasakan ada hal aneh yang terjadi. Namun aku masih acuh dengan sedikit merasakan kecewa, aku berkata dalam hati menguatkan, “Nggak apa-apa, Gala..”
Sepanjang perjalanan menuju penginapan. Kami bertiga yang berada dalam satu kendaraan, tidak berbicara sama sekali. Diam, sunyi. Hanya terdengar suara radio yang sedang memutar sebuah lagu dari band “SENJA” dengan judul “Bukan Jalan Kita”.
Biarkan Waktu Menjawab Semua
Arti Hadirmu di Dalam Hidupku
Kulanjutkan Saja Langkah Yang Tersisa
Meski Harus Tanpamu
Beberapa hari kami habiskan untuk berlibur. Namun tidak satu kalimatpun aku lontarkan sebagai obrolan dengan Nona Pendiam itu. Dia sibuk berdua dengan Vi. Tidak menyisakan celah sedikit untuk aku memulai perbincangan. Ceritaku dengan Nona Pendiam selama di Pulau Dewata hanya menyaksikan kemesraannya bersama Vi. Kecewa? Sejujurnya iya. Namun kali ini aku memiliki keinginan untuk menyempurnakan doa lebih baik lagi. Sungguh perih saat semesta mengajakku untuk bercanda dengan caranya yang nyata. Aku perlahan mencoba untuk tidak lagi jatuh cinta kepada Nona Pendiam. Meski berat, aku harus merelakan perasaanku kepadanya. Tidak lagi berharap untuk mendapat balasan cinta atau mungkin sekedar obrolan belaka. Aku memilih diam serta lirih berdoa dalam hati, semoga hal baik segera hadir, sebagai pengganti Nona Pendiam.
“Aku memilih diam bukan untukmu,
namun aku sedang membuka jalan bagi hal baik lainnya untuk datang”.
Komentar