TENTANG SEBUAH NAMA

Kau datang seperti embun yang tidak tahu arah angin. Pelan, lembut, tanpa aba-aba, tanpa suara yang bisa kutangkap dengan jelas. Hanya kehadiranmu yang tak terlihat, tapi ada. Seperti sesuatu yang lebih tua dari waktu, lebih halus dari bisikan, lebih nyata dari mimpi yang tak pernah selesai. Kau bukan hujan yang deras, bukan badai yang menghantam, tapi lebih seperti getaran kecil pada kaca jendela ketika dunia perlahan mulai pagi. Tenang, tapi menembus.

Kau hadir di tengah senyapku yang sudah terlalu biasa. Di antara tumpukan hari-hari yang hanya berisi tugas, laporan, dan denting jam dinding yang tak pernah berbelas kasih. Kau berdiri di situ, bukan di depan atau belakang, tapi entah di mana, hanya saja aku tahu, kau ada. Menyeruak dari sela waktu yang kubuat senyap, menuntut ruang di dalam kepala yang telah kupenuhi dengan batas-batas dan garis-garis tak bernyawa.

Waktu itu sore. Langit seperti enggan menyelesaikan warnanya. Cahaya kekuningan tertahan di ujung dahan, seakan takut jatuh. Di kejauhan, suara palu terdengar. Ritmis. Satu-satu. Seperti jantung proyek yang tetap berdetak meski hati penghuninya remuk. Suaramu menyusup di antara deru itu bukan dengan kata-kata, tapi dengan diam. Dan justru karena diam itu, aku tahu: kau datang.

Kau tidak menyapa. Tidak memperkenalkan dirimu. Tapi aku bisa merasakanmu, seperti aku bisa merasakan udara yang berubah saat hujan akan turun. Ada sesuatu yang mendekat, membawa aroma asing yang mengganggu rasa nyaman yang sudah lama kupeluk.

Kau bukan asing. Tapi juga bukan kenal. Seperti nama yang pernah kusimpan diam-diam. Yang tak pernah kupanggil, tapi selalu terucap dalam diam paling lirih. Kau berdiri tegak dalam ketidakpastian, seperti bayangan di balik tirai tipis yang tak jelas bentuknya, tapi terlalu kuat untuk diabaikan. Dan entah bagaimana, aku menatapmu dari jauh. Terlalu jauh untuk disapa, terlalu dekat untuk tidak berharap.

Awalnya, kau hanya sebuah suara. Bukan kalimat. Bukan percakapan. Hanya gema. Lalu kau menjadi gambar. Potongan waktu. Isyarat. Hingga akhirnya kau berubah menjadi rutinitas. Sesuatu yang hadir setiap pagi, setiap malam, setiap jeda. Di dalam kopi yang selalu kubuat terlalu manis. Di kursi yang tak pernah benar-benar kosong. Di tawa yang muncul tanpa alasan. Dan tiba-tiba, kau menjadi bagian dari segalanya.

Dari halaman buku yang kubuka tapi tak pernah selesai kubaca. Dari email yang kutulis tapi tak pernah kukirim. Dari bis kota yang lewat terlalu lambat, seolah semesta sengaja memperpanjang waktu agar aku bisa berpikir lebih lama tentangmu. Semua hal menjadi kau. Semua hal menjadi sesuatu yang pernah kau sentuh, atau setidaknya, sesuatu yang mengingatkanku padamu.

Tapi kemudian kau juga yang mencipta luka. Kau datang tanpa peta, dan pergi tanpa alamat. Kau tinggalkan reruntuhan, tapi tak pernah menyebutkan siapa yang harus membersihkannya. Lalu aku, dengan segala keheningan yang pernah kau pecahkan, harus kembali menyusun sisa-sisa yang tak lagi utuh. Bukan untuk membangunnya kembali. Tapi untuk sekadar percaya bahwa aku bisa berjalan lagi di atas tanah yang telah kau goyangkan.

Lucu, ya? Katamu, akan tinggal. Katamu, akan selamanya. Tapi siapa yang bisa percaya janji yang tak pernah diikatkan pada apapun selain angin?

“Aku hanya datang sebentar,” kataku dalam hati.

“Tapi aku untuk selamanya,” katamu, dengan suara yang masih bergema dalam kepalaku, meski dunia tak lagi menyebut namamu.

Dan ternyata kita berdua pembohong. Karena kau bilang akan tinggal. Sedangkan aku bilang, tak akan jatuh cinta pada sebuah nama. Tapi siapa yang bisa menyangkal kuasa satu nama, ketika semesta memilihnya sebagai pusat segala ingatan?

Kau mengendap di antara huruf-huruf yang pernah kucoret di buku harian yang kututup rapi. Kau bersembunyi di nada-nada yang tak sengaja kuketik saat lembur terlalu malam. Dan bahkan, saat aku tidak lagi menulis tentangmu, kau masih muncul dalam bentuk koma sebagai tanda bahwa kalimatku tentangmu belum selesai.

Satu nama.

Itu saja. Satu kata. Yang sampai hari ini, masih tinggal di sela-sela waktu. Bukan karena cinta itu belum selesai. Tapi karena aku tak tahu bagaimana cara menghapus sesuatu yang bahkan belum sempat benar-benar ditulis.

Kini, setiap kali aku melihat seseorang yang baru, aku mencari suaramu. Setiap kali seseorang menyebut nama yang hampir mirip, aku berhenti sejenak kemudian berharap bahwa itu adalah dirimu, meski pada akhirnya aku tahu itu bukan. Setiap sore, aku membuka jendela, hanya untuk memastikan bahwa angin yang datang bukan membawamu kembali.

Sebab kadang, kehilangan tidak datang dengan jeritan. Ia datang dengan jeda. Dengan sunyi yang terlalu lama tinggal di antara dua detik. Dan aku tinggal di sana. Di jeda itu. Di tempat di mana suara terakhir darimu masih menggantung, tapi tak pernah disusul kata berikutnya.

Ada hal-hal yang tidak bisa dipulihkan dengan waktu. Dan namamu, adalah salah satunya.

Kau pernah menjadi pusat dari segala rencana. Kau pernah menjadi garis awal yang kutarik untuk mengukur lebar harapan. Kau pernah menjadi jendela yang kubuka pertama kali setiap pagi. Tapi kini, kau menjadi lubang kecil di dinding waktu, tempat angin masuk, tapi tidak bisa kututup, karena aku tak tahu di mana kuncinya.

Aku belajar menerima. Tapi tidak melupakan. Aku belajar berdamai dengan kenangan, tapi bukan untuk menggantikan rasa yang masih tertinggal. Kadang, aku duduk dalam diam di tengah riuh kota, hanya untuk mendengar bisik waktu yang pernah kita bagi. Kadang, aku merasa kau masih di sana, berdiri di persimpangan sore, menyisipkan tatapan pada lampu lalu lintas yang berubah lambat, seperti caramu berpaling dariku.

Setiap pagi yang baru, kutemukan sisa-sisa dirimu terselip dalam kebiasaan kecilku. Dalam caraku menyusun cangkir, dalam caraku memilih lagu. Semua hal sederhana yang dulu tak berarti, kini menjadi bagian yang membuatku ingat bahwa kau pernah ada. Dan lebih dari itu, kau pernah membuatku percaya bahwa sesuatu yang datang tanpa rencana bisa terasa begitu benar adanya.

Aku tidak lagi bertanya, apakah kau memikirkan hal yang sama. Aku hanya berharap, jika suatu hari nanti kau berjalan di tempat yang pernah kita lewati, kau akan berhenti sejenak. Bukan untuk kembali. Tapi untuk menyadari bahwa ada seseorang yang pernah menunggumu di sana.

Dan jika namaku sempat kau sebut, walau dalam hati, walau hanya sekali, itu sudah cukup. Karena mungkin... tidak semua cinta perlu disampaikan. Tidak semua rindu perlu dijawab. Tidak semua nama harus disandingkan. Beberapa cukup disimpan dalam sunyi yang tak pernah selesai. Dan kau adalah satu dari sedikit nama yang tetap kupanggil, meski hanya dalam diam. Itu pun, sudah lebih dari cukup untuk membuatku tetap berdiri. Hari ini dan esok pagi. Meski tanpa kau lagi.

Komentar

Postingan Populer