TERJEBAK SENDIRIAN

Namaku Galandra. Hujan rintik menyapaku tepat pukul tiga sore. Dan hari ini adalah hari minggu. Saat yang tepat bagi orang yang bekerja sebagai pegawai kantoran untuk menikmati hari liburnya bersama keluarga, teman, atau dirinya sendiri. Hal yang sekarang membuatku merasa iri adalah mereka yang sudah menemukan jati dirinya sendiri. Di sepanjang perjalanan menuju salah satu supermarket asal Jepang, pikiranku berkelana dengan berbagai pertanyaan yang berputar di dalam kepala. Banyak keraguan yang membuatku bingung. Aku hanya merasa, di umurku yang sudah berada di angka dua puluh empat tahun ini, masih belum menjadi siapa-siapa. Aku masih terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri, sedangkan orang lain sudah dalam perjalanan menuju mimpi mereka.

Di persimpangan lampu merah. Aku berhenti menunggu isyarat lampu hijau yang mempersilahkan untuk melanjutkan laju. Dua orang perempuan muda berhenti di belakang sepeda motor yang aku kendarai. Yang menyetir menggunakan baju sweeter warna merah, sedangkan yang dibonceng menggunakan kain putih polos. Mungkin sejenis kemeja, tapi sepertinya begitu. Mereka sedang asik mengobrol satu sama lain. Sesekali bercanda dan tertawa. Aku yang melihat itu dari kaca spion, memutar ulang memori dalam ingatanku sambil berkata dalam hati, “Kapan ya.. terakhir kali aku mengobrol seperti kedua perempuan itu? Asik, sambil bercanda. Lalu ketawa sama-sama.”

Lampu hijau menyala, aku melaju dengan sepeda motorku. Mengitari kota dengan memandang berupa gedung-gedung tinggi menjulang. Gedung-gedung mewah yang mampu menghalangi cahaya matahari. Beberapa kendaraan lain juga ikut mengiringi. Sesekali aku mendengar suara klakson kendaraan yang menyahut, “Tiiinnn!!!” itu hal wajar bukan? Hal wajar yang sudah sering terjadi di tengah jalan. Namun pertanyaan berikutnya yang menyahut dalam pikiranku adalah, “Kenapa harus membunyikan klakson sekeras itu, padahal bisa menyalipnya dengan pelan-pelan atau menuggu di belakang dengan sabar?”

Jujur, aku tidak tau apa jawabannya. Yang jelas semua terjadi begitu saja. Secara tiba-tiba. Dan cepat. Seperti dunia ini. Dunia yang sekarang berlangsung dengan cepat, lebih cepat dari seekor cheetah yang berlari kencang mengejar seekor kijang untuk dimangsa. Dunia yang sekarang jauh lebih cepat dari yang aku kira. Dulu orang rela menunggu lama untuk mengantri makanan di kedai yang sudah terkenal lama karena kelezatannya. Namun sekarang, orang lebih memilih memesan makanan dengan aplikasi yang ada dalam ponsel genggam mereka. Satu kali pencet, bisa dapat semua. Tanpa menunggu lama, tanpa harus antri. Seperti semua hal berjalan cepat. Mungkin kelak, mereka ingin menyaingi keceptan cahaya juga. Hingga ada tagline yang berkata, “Lebih Cepat Dari Cahaya.”

Sampai dengan selamat di supermarkat tujuan. Aku masuk ke dalam. Pintu berbunyi secara otomatis saat dibuka. “Selamat Datang.” Dalam hatiku berkata, “Wah, ternyata sudah secanggih ini teknologinya.” Aku baru tau, atau mungkin lupa kalau sebenarnya itu adalah pengembangan dari sistem sensor yang sama seperti pintu mall yang terbuka secara otomatis. Aku mengambil segelas botol minuman. Lalu pergi ke kasir untuk membayarnya. Di sisi kiri kasir pembayaran, ada etalase kaca dengan beberapa isi makanan. Aku memesan, “Chicken Karaage-nya, boleh. Yang satu biasa, yang satunya spicy.

Kemudian penjaga kasir berkata, “apa ada tambahan lagi?”

Aku menjawab, “Sudah..” lalu teringat, “Eh, rokoknya satu bungkus juga.” Aku lupa kalau sebenarnya tujuan utamaku pergi ke supermarket adalah untuk membeli rokok.

“Totalnya jadi tujuh puluh ribu. Mau tunai atau pakai scan?” si penjaga kasir memberikan pilihan metode pembayaran.

“Tunai saja,” Jawabku yang kemudian menyerahkan selembar uang seratus ribu ke penjaga kasir itu.

Di area supermarket, sudah disediakan beberapa meja dan kursi pengunjung untuk menikamati makanan atau minuman yang telah mereka beli di sana. Konsep yang menurutku cukup menarik. Karena aku juga ikut menikmati fasilitasnya.  Aku duduk di salah satu meja dan kursi di area luar. Mencari yang dekat dengan stop kontak.

Hujan rintik yang tadi menyapa, kini sudah mengguyur jalanan jauh lebih deras. Dua ayam Karaage yang aku pesan juga sudah masuk tertelan melalui tenggorokan. Sekarang hanya menyisakan satu botol air mineral dengan isi setengah dan sebatang rokok yang menyala. Sesekali asapnya lewat menerpa wajahku.

“Arghh. Perih,” kataku sambil mengibatkan tangan untuk melerai pertarungan antara wajahku melawan asap rokok.

Sambil menunggu hujan reda. Aku melamun untuk beberapa saat. Sebentar, lalu sadar kembali akibat ponselku bergetar. Sebuah notifikasi masuk. Hanya kanal berita yang aku baca sekilas. Bukan sebuah notifikasi penting berupa pesan masuk dari seseorang yang menghubungiku. Hal yang sudah biasa aku hadapi. Aku biasa sendirian. Menghabiskan waktu dengan diri sendiri. Entah di tempat yang sepi atau ramai. Aku lebih suka menyendiri. Rasanya lega, tidak bergelut dengan aktifitas dunia dan obrolan yang mungkin akan semakin menambah rasa riuh di dalam kepala.

Aku sejenak berfikir, setelah membaca notifikasi berita di ponselku. Apakah aku akan sendirian untuk waktu yang cukup lama? Bisa dibilang, itu adalah pertanyaan yang aku pikirkan. Yang membawaku kembali masuk ke dalam dunia lamunan. Sebuah dunia yang hanya berisikan aku dan kekhawatiran diri sendiri. Dunia yang penuh misteri. Kadang berwarna gelap mencekam. Kadang putih berseri. Ada juga merah yang pemarah, tapi aku jarang menggunakannya. Menuturku, merah dan amarah adalah satu hal yang sungguh berbahaya. Kenapa? Karena merah mengundang semua hal yang berhubungan dengan ambisi. Entah itu amarah, atau semangat. Dari dulu, aku memang susah sekali untuk berteriak mengeluarkan amarah. Saat emosi melanda di waktu yang aku tidak suka, aku lebih sering memilih untuk diam lalu pergi menyendiri. Mencari kedamaian di tempat lain. Aku tidak tau, apakah itu termasuk ke dalam pelarian diri dari sebuah masalah, atau justru akan memperkeruh.

Salah satu asalan kenapa aku aku lebih memilih diam lalu pergi dan tidak melampiaskan emosi untuk marah adalah karena aku hanya ingin menghindari sebuah masalah. Kadang, ketika manusia sedang dalam keadaan emosi, mereka bisa marah meledak seperti bom waktu yang membuat sekitarnya terkejut. Bahkan bisa ikut marah juga. Ujung-ujungnya malah justru menambah masalah baru dalam hidup.

Aku menghela nafas panjang. “Hemmm, hidup sudah ribet, masih aja cari masalah,” kataku kepada diriku sendiri saat aku teringat kembali dengan pertanyaan tentang kesendirianku. Tentang akan berapa lama aku sendirian. Tentang, “akankah aku memiliki seorang kekasih untuk dijadikan seorang pasangan.”

Sebenarnya, kekhawatiranku mengenai hal itu, sudah ada sejak lama. Hanya saja aku belum berani untuk mengungkapkannya,  apalagi untuk bertanya kepada diriku sendiri untuk dibahas sama-sama. Aku terlalu takut karena aku punya masa lalu yang menurutku cukup kuat untuk menjadi alasan, mengapa sekarang sendirian. Kalau sempat, nanti aku akan tulis di lain kesempatan. Cerita mengenai manusia yang sekarang sudah menjadi masalalu.

Namun sepetinya aku harus kembali melanjutkan perjalanan. Sekarang sudah jam setengah lima sore. Hujan juga sudah berhenti. Setidaknya ada cerita di supermarket ini. Meski hanya sebentar, namun aku merasa senang. Hatiku juga lega, pikiranku jauh lebih jernih. Mungkin aku masih sendirian diperjalanan kali ini, dan tidak apa. Kadang, manusia juga butuh terjebak sendirian dalam pikirannya sendiri, sebelum akhirnya menemukan siapa dirinya.

Komentar

Postingan Populer